BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Gerakan reformasi mengamanatkan perubahan
kehidupan ketatanegaraan yang didasarkan pada pemerintahan yang demokratis dan
berlandaskan hukum (rule of law). Sebelum reformasi, praktik
pemerintahan cenderung diwarnai praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN). Kondisi tersebut membuat masyarakat tidak percaya pada aparat
pemerintah, sehingga untuk memperbaki citra pemerintahan, mutlak diperlukan
pemerintahan yang baik dan bersih (good governance) melalui upaya
penegakan asas-asas pemerintahan yang baik dan penegakan hukum.
Dalam rangka menegakkan pemerintahan yang baik
dan upaya meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat, maka diperlukan
keberadaan lembaga pengawas yang secara efektif mampu mengontrol penyelenggaraan
tugas aparat penyelenggara negara. Selama ini, pengawasan secara internal
dinilai kurang memenuhi harapan masyarakat dari sisi obyektifitas dan
akuntabilitas. Sehingga, dibutuhkan lembaga pengawas eksternal agar mekanisme
pengawasan pemerintahan bisa diperkuat dam berjalan secara lebih efektif untuk
mewujudkan birokrasi yang bersih, transparan dan responsif terhadap kebutuhan
publik.[1]
Sebelum reformasi, sistem pengawasan diatur
dalam Instruksi Presiden (Inpres) nomor 15 tahun 1983. Namun, peraturan hukum
tersebut tidak memberikan keterangan yang tegas dan jelas mengenai apa yang
dimaksud dengan pengertian pengawasan itu sendiri.
Menurut George R. Terry, pengawasan adalah `Control
is to determine what is accomplished evaluate it, and apply corrective measures,
if needed to insure result in keeping with the plan.` Sedangkan Newman
berpendapat bahwa `Control is assurance that the performance conform to
plan.` Kemudian, Siagian memberikan definisi tentang pengawasan bahwa
proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organsasi untuk
menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai dengan
rencana yang telah ditentukan.[2]
Di Indonesia, pada tanggal
20 Maret 2000 lahir lembaga Ombudsman Indonesia yang diberi nama "Komisi
Ombudsman Nasional" berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000.
Kemudian lembaga tersebut dibentuk kembali berdasarkan Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (UU 37/2008) yang disetujui
pembuat Undang-Undang dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 9 September
2008, dengan nama ”Ombudsman Republik Indonesia”.[3]
Ombudsman Republik
Indonesia memiliki kewenangan mengawasi pemberian pelayanan umum oleh
penyelenggara negara dan pemerintah kepada masyarakat. Penyelenggara negara
dimaksud meliputi Lembaga Peradilan, Kejaksaan, Kepolisian, Badan Pertanahan
Nasional, Pemerintah Daerah, Instansi Departemen dan Non-Departemen, BUMN, dan
Perguruan Tinggi Negeri, serta badan swasta dan perorangan yang
seluruh/sebagian anggarannya menggunakan APBN/APBD. [4]
Untuk itu, dibentuklah
Ombudsman Republik Indonesia yang merupakan lembaga negara bersifat mandiri dan
tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga negara dan instansi pemerintahan
lainnya, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan
kekuasaan lainnya. Ombudsman Republik Indonesia ini diharapkan mampu menjadi
lembaga yang benar-benar menjalankan tugas dan fungsinya. Oleh karena itu,
kelompok kami ingin mengetahui tentang perkembangan ombudsman di Indonesia ini.
Adapun di dalam makalah ini kelompok kami memberikan judul “Ombudsman dalam Ketatanegaraan
Republik Indonesia”.
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
pemaparan latar belakang di atas, maka adapun rumusan masalah dari makalah ini
adalah:
1. Apa
sajakah tugas dan wewenang dari Ombudsman Republik Indonesia ini?
2. Bagaimana
hubungan Ombudsman dengan anti korupsi di Indonesia?
3. Bagaimanakah
kedudukan Ombudsman dalam ketatanegaraan Republik Indonesia?
4. Kasus
apa sajakah yang pernah ditangani oleh Ombudsman di Indonesia?
1.3
Tujuan
Setelah
melihat beberapa rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan makalah
ini adalah:
1. Untuk
menjabarkan tugas dan wewenang dari Ombudsman Republik Indonesia.
2. Untuk
mengetahui hubungan Ombudsman dengan anti korupsi di Indonesia.
3. Untuk
mengetahui kedudukan Ombudsman dalam ketatanegaraan Republik Indonesia.
4. Untuk
mengetahui kasus-kasus yang pernah ditangani oleh Ombudsman di Indonesia.
1.4
Manfaat
Manfaat
yang dapat diambil dari penulisan makalah ini adalah:
1. Makalah
ini diharapkan mampu memberikan informasi dan sumber pengetahuan bagi penulis
dan pembaca.
2. Makalah
ini diharapkan dapat dijadikan bahan dan sumber bacaan bagi penulis ataupun
pembaca.
1.5
Kerangka
Teoritik
Landasan teori
yang digunakan adalah teori kelembagaan, dimana Ombudsman ini diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia (UU 37/2008) yang disetujui pembuat Undang-Undang
dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 9 September 2008, dengan nama
”Ombudsman Republik Indonesia”.[5]
Menurut
Macridis, dalam bukunya “Comparative
Politics” menguraikan lembaga politik negara dengan unsur-unsurnya sebagai
berikut:[6]
1.
Membahas mengenai
konstitusi “constitution” atau
Undang-undang dasar sebagai suatu lembaga politik negara, Of UUD 1945.
2. Membahas
mengenai lembaga politik negara yang sudah lazim sampai sekarang, eksekutif “the executive”, legislative “the
legislative”, dan yudikatif “the
judiciary”.
3. Membahas
mengenai lembaga administrasi/birokrasi “administration”.
4. Membahas
mengenai lembaga control politik dan tanggung jawab politik.
Menurut
Laski dalam bukunya “A Grammer of Politics” menguraikan tentang lembaga politik
negara dengan pokok uraian berikut:[7]
1. Membahas
mengenai lembaga politik negara, eksekutif, legislative, dan yudikatif mengenai
perkembangannya melalui teori pemisahan kekuasaan , pengaruh teori Montesqueu
2. Membahas
mengenai lembaga organisasi warga negara, dalam teori politik disebut “interest group” dan “political interest group” dan masalah
kepentingan umum, “public interest”.
3. Membahas
mengenai lembaga pemilihan umum dan sistem pemilu yang dianut, distrik dan
proporsional dan atau campuran keduanya, dan mengenai sistem kepartaian
4. Membahas
mengenai lembaga control “public
governance” administrasi public, sistem departemen dan daerah.
Marnis
( 2009 : 344 ) mengatakan pengawasan adalah proses pemonitorian kegiatan
organisasional untuk mengetahui apakah kinerja actual sesuai dengan standar
dari tujuan organisasional yang diharapkan.[8]Pengawasan
yaitu suatu tindakan mengawasi pekerjaan agar sesuai dengan yang ditetapkan.
Dalam materi pengawasan pemerintahan, terdapat empat bentuk pengawasan, yaitu administrative control, political control,
legal control, dan social control. Ombudsman merupakan contoh yang masuk
kedalam bentuk legal control. Legal control merupakan pengawasan yang biasa dilakukan oleh yudikatif.
Ombudsman Republik Indonesia yang selanjutnya
disebut Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan
oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk
yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara,
Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara
serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas
menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.[9]
BAB II
PEMBAHASAN
Untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap
birokrasi, salah satu langkah penting yang ditempuh pemerintah pasca reformasi
adalah dengan memperkuat pengawasan terhadap birokrasi dengan membentuk lembaga
pengawas eksternal, yakni lembaga ombudsman. Lembaga ini dibentuk pada masa
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid berdasarkan Keputusan Presiden nomor 44
tahun 2000. Kemudian, dasar hukum ombudsman diperkuat dalam bentuk
Undang-undang (UU), yakni UU nomor 37 tahun 2008.
Secara internasional, tidak kurang 65 negara
kini memiliki lembaga Ombudsman yang keberadaannya bahkan diatur dalam
konstitusi. Ombudsman di negara-negara yang sudah lama memilikinya seperti
Finlandia, Swedia, dan Norwegia, dinamai “Parliamentary Ombudsman”. Ini terkait
dengan para anggotanya dipilih dan diangkat oleh parlemen, sehingga kedudukan
mereka sangat kuat. Ombudsman Finlandia dan Polandia diberikan kewenangan untuk
mengawasi lembaga peradilan sekaligus menghukum hakim-hakim yang terbukti
korup. Kemudian, hampir semua negara eks Komunis di Eropa Timur, termasuk
Rusia, kini memiliki sistem Ombudsman; apalagi negara-negara maju seperti
Amerika, Inggris, Belanda, Australia dan Selandia Baru. Negara-negara Afrika
yang tergolong sebagai negara berkembang seperti Zambia, Ghana, Uganda, Pantai
Gading, Burkina Faso dan Kamerun, juga mempunyai Ombudsman[10].
Ombudsman Republik Indonesia bermula dari
dibentuknya "Komisi Ombudsman Nasional" pada tanggal 20 Maret 2000 berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000. Peran Komisi Ombudsman Nasional saat
itu adalah melakukan pengawasan terhadap pemberian pelayanan publik oleh
penyelenggara negara, termasuk BUMN/BUMD, lembaga pengadilan, Badan Pertanahan
Nasional, Kepolisian, Kejaksaan, Pemerintah Daerah, Departemen dan Kementerian,
Instansi Non Departemen, Perguruan Tinggi Negeri, TNI, dan sebagainya.
Pembentukan lembaga Ombudsman di Indonesia
didasarkan pada beberapa pertimbangan, yakni, pertama, bahwa pelayanan kepada
masyarakat dan penegakan hukum yang dilakukan dalam rangka penyelenggaraan negara
dan pemerintahan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk
menciptakan pemerintahan yang baik, bersih, dan efisien guna meningkatkan
kesejahteraan serta menciptakan keadilan dan kepastian hukum bagi seluruh warga
negara.
Kedua, bahwa pengawasan pelayanan yang
diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan merupakan unsur
penting dalam upaya menciptakan pemerintahan yang baik, bersih, dan efisien
serta sekaligus merupakan implementasi prinsip demokrasi yang perlu
ditumbuhkembangkan dan diaplikasikan guna mencegah dan menghapuskan
penyalahgunaan wewenang oleh aparatur penyelenggara negara dan pemerintahan.
Terakhir, pembentukan Ombudsman sebagai bagian dari pemberdayaan masyarakat
agar turut terlibat aktif untuk melakukan pengawasan terhadap aparat pemerintah
sehingga akan lebih menjamin penyelenggaraan negara yang jujur, bersih,
transparan, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Pemberdayaan pengawasan oleh
masyarakat ini merupakan implementasi demokratisasi yang perlu dikembangkan
serta diaplikasikan agar penyalahgunaan kekuasaan, wewenang ataupun jabatan
oleh aparatur negara dapat diminimalisasi.
Dalam menjalankan kewenangannya KON berpegang
pada asas mendengarkan kedua belah pihak (imparsial) serta tidak menerima
imbalan apapun baik dari masyarakat yang melapor atau pun instansi yang
dilaporkan. KON tidak memiliki kewenangan menuntut maupun menjatuhkan sanksi
kepada instansi yang dilaporkan, namun memberikan rekomendasi kepada instansi
untuk melakukan self-correction. Penyelesaian keluhan oleh KON merupakan salah
satu upaya alternatif penyelesaian masalah (alternative dispute resolution) di
samping cara lainnya yang membutuhkan waktu yang relatif lama dan biaya yang
harus dikeluarkan.
Dasar Hukum pembentukan
Ombudsman di Indonesia:
a.
Ketetapan MPR No : VIII/MPR/2001
b.
Undang-Undang No.25 Tahun 2000
tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas)
c.
Keppres No.44 Tahun 2000
Visi Komisi Ombudsman
Nasional:
1.
Menjadi institusi publik mandiri dan terpercaya berasaskan Pancasila yang
mengupayakan keadilan, kelancaran dan akuntabilitas pelayanan pemerintah,
penyelenggara pemerintahan sesuai asas-asas pemerintahan yang baik dan bersih
(good governance dan clean governance) serta peradilan yang tidak memihak
berdasarkan asas-asas supremasi hukum dan berintikan keadilan.
2.
Ombudsman Nasional sebagai Institusi Publik dipilih oleh Dewan Perwakilan
Rakyat, diangkat oleh Kepala Negara dan diatur dalam Undang-undang Dasar
Republik Indonesia sehingga memperoleh kepercayaan masyarakat, dilaksanakan
oleh orang-orang dengan integritas serta akuntabilitas yang tinggi.
Misi Komisi Ombudsman
Nasional:
1.
Mengupayakan secara berkesinambungan kemudahan pelayanan yang efektif dan
berkualitas oleh institusi Pemerintah kepada masyarakat.
2.
Membantu menciptakan serta mengembangkan situasi dan kondisi yang kondusif demi
terselenggaranya pemerintahan yang baik dan bersih, serta bebas dari korupsi,
kolusi dan nepotisme.
3.
Memprioritaskan pelayanan yang lebih peka terhadap tuntutan dan kebutuhan
masyarakat, dengan memberi pelayanan yang optimal serta membina koordinasi dan
kerjasama yang baik dengan semua pihak (Institusi Pemerintahan, Perguruan
Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, Pakar, Praktisi, Organisasi Profesi, dll).
4.
Menciptakan lingkungan dan suasana kerja dengan komitmen penuh, standar
integritas dan akuntabilitas tinggi, yang member dukungan bagi keberhasilan
Visi dan Misi Ombudsman berdasarkan Pedoman Dasar dan Etika Ombudsman.
5.
Melaksanakan manajemen secara terbuka, serta memberikan kesempatan yang terus menerus
kepada seluruh staf untuk meningkatkan pengetahuan serta profesionalisme dalam
menangani keluhan masyarakat.
6.
Menyebarluaskan keberadaan serta kinerja Ombudsman kepada masyarakat dalam
rangka turut meningkatkan kesadaran hukum Aparatur Pemerintah, Peradilan dan
Lembaga Perwakilan Masyarakat, sehingga seluruh Daerah Otonomi Republik
Indonesia merasa perlu membentuk Ombudsman di daerah dengan Visi dan Misi yang
sama.
2.1
Tugas
dan Wewenang Ombudsman
Dalam
menjalankan fungsi dan tugas, menurut ketentuan Pasal 8 UU No. 37 Tahun 2008
tentang ORI, Ombudsman berwenang: ayat
(1) Dalam menjalankan fungsi dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan
Pasal 7, Ombudsman berwenang:
a. Meminta
keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari Pelapor, Terlapor,atau pihak
lain yang terkait mengenai Laporan yang disampaikan kepada Ombudsman;
b. Memeriksa
keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pada Pelapor ataupun
Terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu Laporan
c. Meminta
klarifikasi dan/atau salinan atau fotokopi dokumen yang diperlukan dari
instansi manapun untuk pemeriksaan Laporan dari instansi terlapor
d. Melakukan
pemanggilan terhadap Pelapor, Terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan
Laporan;
e. Menyelesaikan
laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak;
f. Membuat
Rekomendasi mengenai penyelesaian Laporan, termasuk Rekomendasi untuk membayar
ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan;
g. Demi
kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan Rekomendasi.
Selain wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ombudsman berwenang:
a. Menyampaikan
saran kepada Presiden, kepala daerah, atau pimpinan Penyelenggara Negara
lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan/atau prosedur pelayanan
publik;
b. Menyampaikan
saran kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dan/atau kepala daerah agar terhadap undang-undang dan peraturan
perundang-undangan lainnya diadakan perubahan dalam rangka mencegah
Mal-administrasi.
Berkaitan dengan mekanisme pengawasan oleh Ombudsman,
menurut ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang ORI,
menyatakan bahwa :
(1)
Ombudsman memeriksa Laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24;
(2)
Dalam hal Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdapat kekurangan, Ombudsman memberitahukan secara tertulis kepada
Pelapor untuk melengkapi Laporan;
(3)
Pelapor dalam waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal Pelapor menerima pemberitahuan dari
Ombudsman harus melengkapi berkas Laporan;
(4)
Dalam hal Laporan tidak dilengkapi dalam waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pelapor dianggap mencabut Laporannya.
Selanjutnya ketentuan Pasal 26 menyatakan :
(1)
Dalam hal berkas Laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 dinyatakan lengkap, Ombudsman segera melakukan pemeriksaan
substantif;
(2)
Berdasarkan hasil pemeriksaan substantif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ombudsman dapat menetapkan bahwa Ombudsman:
a. tidak
berwenang melanjutkan pemeriksaan; atau
b. berwenang
melanjutkan pemeriksaan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, pada
dasarnya mekanisme pengawasan Ombudsman adalah diawali dengan adanya laporan,
untuk selanjutnya ditindaklanjuti oleh Ombudsman. Jadi apabila tidak adanya
laporan, maka pengawasan Ombudsman bersifat pasif.
Terkait dengan tugas, Ombudsman mempunyai tugas sebagai
berikut:
1. Menerima Laporan atas dugaan
Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
2. Melakukan pemeriksaan substansi atas
Laporan;
3. Menindaklanjuti Laporan yang
tercakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman;
4. Melakukan investigasi atas prakarsa
sendiri terhadap dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
5. Melakukan koordinasi dan kerja sama
dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan lainnya serta lembaga
kemasyarakatan dan perseorangan;
6. Membangun jaringan kerja;
7. Melakukan upaya pencegahan
Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; dan
8. Melakukan tugas lain yang diberikan
oleh undang-undang[11]
2.2
Ombudsman dan
Antikorupsi
Salah satu tujuan
pembentukan Ombudsman dalam UU adalah untuk memberantas dan mencegah korupsi
dikalangan aparat pemerintah. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa melenyapkan
korupsi sampai ke akar-akarnya tidak cukup hanya dengan tindakan represif
dengan memberikan hukuman kepada pelaku korupsi. Pemberantasan korupsi harus
dimaknai sebagai bentuk tindakan yang komprehenshif, meliputi pencegahan,
penindakan, dan perbaikan. Ombudsman merupakan salah satu kelembagaan
antikorupsi yang direkomendasikan ketetapan (TAP) MPR Nomor VIII tahun 2001
tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Lembaga
antikorupsi lain, yang juga direkomendasikan dibentuk perundangundangannya
meliputi Komisi Antikorupsi, Pencucian Uang, Perlindungan Saksi, Kebebasan
Memperoleh Informasi dan sebagainya.
Disamping peran dan
kewenangan sebagai pengawas penyelenggaraan pemerintahan, Ombudsman juga
berperan dalam proses pemberantasan dan pencegahan Korupsi. Bahkan, sebagaimana
ditunjukkan oleh TAP MPR, sesunggguhnya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi bersama-sama dengan Komisi Ombudsman Nasional dilihat sebagai dua
lembaga yang sama-sama berperan dalam Pemberantasan dan Pencegahan KKN, tetapi
masing-masing diberi tugas dan kewenangan untuk memberantas dan mencegah KKN
dari sudut dan melalui jalur yang berbeda. Bila Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi bertugas dan berperan memberantas KKN yang merupakan tindak
pidana, dan karena itu bertindak sebagai Pengawas Kejaksaan dalam hal
pemeriksaan dan penuntutan perkara pidana korupsi, yang bahkan dapat
menggantikan/mengambil alih peran Kejaksaan itu, maka Komisi Ombudsman Nasional
memberantas dan mencegah aspek-aspek KKN dari jalur yang lain, yaitu melalui
jalur administrasi dan Penyelenggara Negara, serta melalui pengembangan
Asas-asas Umum Pemerintahan yang Benar (Good Governance)[12]
Kwik Kian Gie pernah
berpendapat bahwa untuk memberantas korupsi harus dimulai dari membersihkan
manusia agar bebas korupsi atau setidaknya takut melakukan korupsi. Ia kemudian
menawarkan konsep pemberantasan korupsi dengan menggunakan metode pemberian carrot
and stick. Menurut Kwik Kian Gie, memberi kesejahteraan dan mempertegas
hukuman (carrot and stick) bagi penyelenggara negara/pemerintah
seharusnya menjadi starting point yang sangat penting dalam
pemberantasan korupsi. Tentu saja dengan tidak mengabaikan perbaikan perangkat
hukum, kelembagaan, sistem prosedur pengambilan keputusan dan transparansi.
Pada tahap inilah, peran
Ombudsman sangat dibutuhkan. Sebab selain “menghukum” para pelaku korupsi,
tidak kalah penting adalah mengawasi proses pemberian hukuman tersebut apakah
sudah sesuai prosedur atau sarat dengan berbagai penyimpangan. Sehingga dalam
hal ini, Ombudsman lebih berperan untuk melakukan pencegahan secara dini agar
dalam setiap aspek pemberantasan korupsi tidak terjadi penyimpangan atau
maladministrasi. Oleh karena itu, sebagai lembaga yang menitikberatkan pada
pengawasan proses pemberian pelayanan umum, dalam konteks pemberantasan
korupsi, Ombudsman lebih berperan guna mencegah terjadinya perilaku koruptif
setiap aparatur penyelenggara negara/pemerintah. Peran ini dilaksanakan atas
dasar pemikiran bahwa pemberantasan korupsi harus dimulai dengan memperbaiki
sistem pelayanan umum. Pendapat ini dibangun dengan asumsi bahwa sistem
pelayanan umum (termasuk proses penegakan hukum) menjadi tidak berjalan secara
baik karena didalamnya sarat dengan praktek-praktek penyelenggaraan negara yang
koruptif. Sehingga apabila proses pemberian pelayanan umum diawasi sedemikian
rupa, maka setidaknya dapat mencegah adanya peluang bagi penyelenggara negara
melakukan tindakan-tindakan yang koruptif[13].
Berbeda dengan tindakan
hukum (repressive) bagi Koruptor, maka pencegahan (prevention)
terhadap terjadinya praktek-praktek koruptif dapat dirasakan manfaatnya secara
langsung oleh banyak orang. Apabila kita bisa mencegah praktek-praktek koruptif
dalam proses pemberian pelayanan umum seperti misalkan permintaan uang dalam
pembuatan KTP, SIM, IMB dan perijinan lainnya, tentu lebih banyak orang yang
merasakan dampaknya. Dengan demikian ratusan ribu bahkan jutaan orang di
Indonesia dapat memperoleh pelayanan prima tanpa dibebani biaya-biaya tidak
resmi yang memberatkan. Oleh karena itu, memasukkan upaya pencegahan korupsi
sebagai bagian penting dalam strategi pemberantasan korupsi akan semakin
melengkapi dan memperkuat gerakan antikorupsi di Indonesia. Hal ini akan
semakin memperjelas peran Ombudsman dalam gerakan antikorupsi di Indonesia.
Apabila pemberantasan korupsi dimaknai sebagai bentuk tindakan yang
komprehenshif, meliputi pencegahan (preventif), penindakan (represif), dan
perbaikan (kuratif), permasalahannya adalah bagaimana mensinergikan peran
masing-masing lembaga yang menjadi stakeholder gerakan antikorupsi
sehingga menjadi kekuatan yang utuh dari hulu (pencegahan) sampai hilir
(perbaikan).[14]
2.3
Kedudukan
Ombudsman dalam Sistem ketatanegaraan
RI
Keberadaan
Ombudsman Republik Indonesia dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menurut
konsep pembagian kekuasaan pada prinsipnya berperan sebagai lembaga negara yang
menjalankan fungsi pengawasan terhadap pelayanan publik yang diselenggarakan
oleh penyelenggara negara. Ombudsman Republik Indonesia ditinjau menurut fungsi
kelembagaan merupakan lembaga penunjang dalam ranah kekuasaan legislatif dan
yudikatif. Ombudsman Republik Indonesia menjadi lembaga penunjang dalam
menjalankan fungsi pengawasan terhadap pelayanan publik. Ombudsman Republik
Indonesia ditinjau menurut hirarki kelembagaan, Ombudsman Republik Indonesia
pada saat dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44
Tahun 2000 Tentang Komisi Ombudsman Nasional, secara hirarki Ombudsman Republik
Indonesia termasuk ke dalam kategori organ lapis dua kelompok ketiga. Setelah
dasar hukum Ombudsman Republik Indonesia diubah berdasarkan Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, kedudukan Ombudsman
Republik Indonesia lebih kuat.
Dari dasar
hukum berupa undang-undang ini, maka Ombudsman Republik Indonesia dapat
dikategorikan sebagai organ lapis dua atau disebut sebagai lembaga negara
kelompok kedua. Fungsi Ombudsman Republik Indonesia sebagai pengawas pelayanan
publik merupakan salah satu upaya perwujudan good governance melalui tiga unsur pokok yang menjadi sari dari
asas-asas umum pemerintahan yang baik (good
governance) yaitu akuntabilitas publik, kepastian hukum dan transparansi
publik.
Amandemen
UUD 1945 menetapkan lembaga-lembaga negara di pemerintahan pusat adalah[15]
:
1.
Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR)
2.
Presiden/Wakil Presiden
dan Kementerian Negara;
3.
Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR);
4.
Dewan Perwakilan Daerah
(DPD);
5.
Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK);
6.
Mahkamah Agung (MA);
7.
Mahkamah Konstitusi
(MK).
Lembaga-lembaga negara di pemerintahan daerah menurut
amandemen UUD 1945, adalah :
Ketatanegaraan Indonesia menurut amandemen UUD 1945 juga menempatkan “lembaga negara penunjang”
(Auxilary Institutional Constitution), yaitu lembaga-lembaga negara yang
diatur dalam konstitusi untuk membantu lembaga negara yang ditetapkan untuk
menyelenggarakan fungsi negara demi terwujudnya tujuan negara.
Pasal 2 UU No. 37 Tahun 2008 menegaskan bahwa kedudukan
Ombudsman adalah lembaga negara yang bersifat mandiri dan tidak memiliki
hubungan organik dengan lembaga negara dan instansi pemerintahan lainnya, serta
dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya.
Dari kedudukan ini, perlu diperjelas dimanakah posisi ORI
dalam ketatanegaraan RI. UUD 1945 hasil perubahan menempatkan semua lembaga negara berada dalam posisi
yang saling imbang dan kontrol (check’s and balances). 1. Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD); 2. Pemerintahan Daerah (Propinsi,
Kabupaten/Kota).
Tidak ada lembaga negara yang lebih dominan dari pada
lembaga negara lainnya, seperti masa supremasi MPR sebelum perubahan UUD 1945.
Teori-teori klasik menjabarkan bahwa lembaga negara adalah alat kelengkapan
negara yaitu institusi-institusi yang melaksanakan fungsi-fungsi negara. Teori
ini terkenal dengan nama Trias Politica yang membagi beberapa fungsi negara ke
dalam fungsi pembuat undang-undang (legislatif), fungsi penyelenggara
pemerintahan (eksekutif), dan fungsi peradilan (yudikatif). Dalam
perkembangan ketatenegaraan, teori ini sudah tidak lagi memadai untuk melakukan
analisis hubungan antar cabang kekuasaan negara. Ketatanegaraan Indonesia
sendiri, terutama setelah perubahan UUD 1945 telah berkembang begitu pesat
sebagai upaya mewujudkan negara kesejahteraan (welfare state). Tidak
hanya itu, lembaga-lembaga negara lain dan komisi-komisi negara juga telah
tumbuh diluar UUD 1945.
Dengan kata lain kelembagaan negara di Indonesia tak bisa
lagi dianalisis dengan pendekatan pemisahan kekuasaan model Trias Politica.
Secara garis besar Lembaga Negara di Indonesia terbagai dalam dua kelompok,
yaitu lembaga negara yang dibentuk melalui UUD dan lembaga negara yang dibentuk
di luar UUD. Lembaga Negara yang pembentukannya diluar UUD seringkali disebut
lembaga negara tambahan (ekstra auxiliary) atau lembaga negara secondary,
dalam artian ia merupakan lembaga negara yang tidak terdapat dalam konstitusi,
namun dibentuk melalui UU (regulatory body). Karena itu memahami
kelembagaan negara Indonesia harus dilakukan melalui pendekatan tugas dan
fungsinya. Tidak lagi seperti dulu, yang mengarah hanya kepada lembaga-lembaga
yang pembentukan dan fungsinya diberikan oleh UUD.
ORI merupakan lembaga negara yang tidak terdapat dalam
UUD. Kelahirannya dilakukan oleh UU dalam rangka pengawasan kinerja aparatur
negara dan pemerintahan serta menampung keluhan masyarakat. Lembaga yang
menjalankan fungsi seperti ini belum diatur dalam UUD. Oleh sebab itu, dalam
sistem pemisahan kekuasaan, ORI dapat dikatagorikan sejajar dan tidak dibawah
pengaruh satu kekuasaan lain. Dengan tugas dan fungsi seperti itu, keberadaan
ORI sangat vital dalam pemenuhan perlindungan dan kesejahteraan masyarakat
sebagai bagian tujuan bernegara.
Sehubungan dengan kedudukan ORI seperti di atas, maka
Ombudsman bukan lagi menjadi domain pemerintah seperti halnya masa berlakunya
Keppres No. 44 Tahun 2000. Pemerintah sudah tidak dapat lagi membentuk
Ombudsman atau badan-badan dengan nama lain yang secara prinsip menjalankan
tugas dan fungsi ORI. Tugas mengawasi kinerja lembaga negara dan pemerintahan
serta menampung keluhan masyarakat telah beralih dan dilakukan oleh lembaga
negara tersendiri dan menjalankan tugas dan fungsinya secara mandiri[16].
Untuk menjangkau tugas dan fungsi pengawasan, serta
menampung keluhan masyarakat sampai ke daerah, oleh UU 37 Tahun 2008, ORI
diberi keleluasaan membentuk Perwakilan di Daerah. Ombudsman daerah atau dengan
istilah lain yang ada sekarang secara bertahap harus diintegrasikan menjadi
kepanjangan (perwakilan) ORI. Dengan demikian pengawasan akan terstruktur dan
terkoordinasi dengan baik mengenai standar, meknisme, prosedur, dukungan
fasilitasi, dan lain-lain.
Menyangkut peran dan kewenangan Ombudsman yang perlu
diperkuat, salah satu caranya adalah dengan menegaskan posisi dan kewenangannya
secara konstitusional (constitutional organ and authority). Dalam
sejarahnya, Komisi Konstitusi pernah memasukkan usulan Pasal 24 G yang mereka
susun dan telah diserahkan kepada MPR periode 1999-2004. Namun, gagasan
memberikan landasan konstitusional Ombudsman telah gagal, dan faktor inilah
yang menyebabkan melemahnya posisi dan wewenang Ombudsman dalam menjalankan
fungsi-fungsinya. Memberikan landasan konstitusional terkait dengan posisi dan
wewenang Ombudsman sangatlah penting, mendesak dan perlu diperluas tidak
sekadar pengawasan atas pelayanan publik penyelenggara negara, melainkan pula
terlibat dalam proses mendorong sistem peradilan yang efektif dan profesional.
Dalam kaitan terlibat dalam proses mendorong sistem
peradilan yang efektif dan profesional, Ombudsman bisa diberikan fungsi untuk
memantau penyelenggaraan persidangan yang independen (atas dasar pengaduan
masyarakat) serta aktif dalam proses pengangkatan hakim agung dan wewenang lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim. Dengan jangkauan meluas wewenang Ombudsman, maka eksistensi
Komisi Yudisial perlu dipertimbangkan kembali dengan penegasan fungsi yang bisa
(digantikan) dimiliki
Ombudsman, yang selaras dengan penamaan dan fungsi
kekuasaannya[17].Perubahan
UUD 1945 perlu pula mengatur secara tegas dan progresif tanggung jawab utama
negara, dalam hal ini pemerintah, untuk menghormati, melindungi dan memenuhi
hak-hak asasi manusia. Konsepsi progresifitas atau pemajuan hak-hak asasi
manusia menjadi penting agar penyelenggara negara lebih memprioritaskan
tanggung jawabnya, baik terhadap hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak
ekonomi sosial dan budaya. Dalam UUD 1945, tanggung jawab negara tidak diatur
secara khusus terkecuali rumusan dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 1945) sebagaimana
kewajiban individu dalam hak-hak asasi manusia (Pasal 28J UUD 1945).
Usulan kongkritnya, Pasal-Pasal tentang tanggung jawab
negara dalam penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia
haruslah dibuat secara khusus, termasuk konsekuensi impeachment ang menjadi
landasan konstitusionalnya (misalnya: memasukkan klausul ”terbukti melakukan
pelanggaran hak asasi manusia” dalam Pasal 7A UUD 1945). Selain itu, perlu
dipertimbangkan pula bila hendak melakukan perubahan total UUD 1945 (bukan
bersifat amandemen), yakni menempatkan pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi
manusia terlebih dahulu dalam Pasal-Pasal pembuka atu awal dalam struktur
konstitusinya sebelum pengaturan tentang kekuasaan dan kelembagaan negara yang
menjalankan kekuasaannya[18].
Untuk memperkuat kedudukan dan kewenangannya, Ombudsman
telah melakukan kerjasama dengan beberapa instansi pemerintahan lainnya,
seperti:
1. Komisi
Ombudsman Indonesia dan Mabes Polri
Komisi Ombudsman Indonesia dan Mabes Polri melakukan
penandatanganan MoU terkait kerjasama pelaksanaan kewenangan Ombudsman pada
tanggal 26 Mei 2011. Dengan menggandeng Polri, peran Ombudsman ke depan bisa
lebih optimal. Kerjasama ini dilakukan dalam rangka pelaksanaan penyidikan
tindak pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 44 UU No. 37 Tahun 2008 tentang
ORI, yang menjadi bagian pengawasan eksternal untuk meangawasi masalah laporan
dari masyarakat. “Intinya dari bagian pengawas eksternal seperti Komisi
Kepolisian. Sehingga pengawasan pelaksanaan tugas Polri. Di samping internal
ada Irwasum. Kami juga diawasi Ombudsman,” ujar Kapolri Jenderal Timur Pradopo[19]. Polri siap membantu
Ombudsman untuk melaksanakan tugas-tugasnya sesuai peraturan perundang-undangan
berlaku. Di dalam pelaksanaan di lapangan Komisi Ombudsman dan Polri bekerja
sama, dengan komitmen bila ada permasalahan dalam kepolisian, wajib
ditindaklanjuti dan diawasi oleh Ombudsman. Bila ada kesulitan dalam pengawasan
Ombudsman dapat meminta bantuan kepada kepolisian negara.
Dalam Pasal 13 dan 44 UU No. 37 Tahun 2008, Ombudsman
tidak dapat dilakukan sendiri dalam hal pemanggilan paksa, untuk itulah
Ombudsman membutuhkan bantuan Polri dalam mengatasi masalah ini. Kemudian, MoU ini
berisikan peningkatan kualitas koordinasi dalam rangka penyidikan tindak
pidana. Sedangkan kerja sama yang dilakukan dalam rangka menyelesaikan laporan
pengaduan dari masyarakat yang dialami korban tindakan kesewenang-wenangan yang
telah dilakukan aparat pemerintah, penyelenggara negara, BUMN, BUMD, dan
siapapun yang menyelenggarakan misi pelayanan publik di seluruh sektor
lingkungan Polri atas bantuan Kapolri. Selama ini Ombudsman mengalami kesulitan
dalam hal memanggil pihak terlapor karena tidak adanya upaya paksa. Sesuai
kewenangannya dalam UU 37 tahun 2008 Komisi Ombudsman wajib menindaklanjuti
pejabat instansi terlapor. Apabila pejabat instansi terlapor yang dipanggil
Ombudsman tidak mengindahkan panggilan itu tiga kali berturut-turut maka Ombudsman
bersama Polri akan memanggil paksa.
2. Kerjasama
ORI dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
ORI melakukan pembahasan rencana kerjasama tahap awal
dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada hari Senin, 11 Juli
2011. Bertempat di Ruang Abdurrahman Wahid Lt.7 Kantor Ombudsman, pembahasan
yang langsung dipimpin oleh Ketua Ombudsman Danang Girindrawardana dan Ketua
LPSK Abdul Haris Semendawai membahas beberapa poin kerjasama yang sedianya akan
dilakukan bersama-sama ORI dan LPSK. Kerjasama antara ORI dan LPSK tidak
terbatas pada Inpres No.09/2011 melainkan juga meliputi aspek-aspek lain
seperti mekanisme yang akan dijalankan terkait kesepakatan-kesepakatan yang
telah dibuat antar lembaga penegak hukum. Mekanisme tersebut merupakan sarana
implementasi dari kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat LPSK dengan
lembaga-lembaga lain. Semendawai mencontohkan LPSK telah membuat kesepakatan
dengan Mahkamah Agung (MA) yang menghasilkan komitmen Pimpinan MA H.Arifin
Tumpa untuk membuat Surat Edaran kepada pengadilan-pengadilan seluruh Indonesia
untuk memberikan penanganan berbeda terhadap para kolaborasi keadilan (Justice
Collaborator).
Abdul Haris Semendawai mengajak ORI untuk melakukan
kemitraan dalam bentuk kerjasama kantor (Join Office) dengan kantor-kantor
perwakilan ORI di daerah, perlindungan bagi pelapor-pelapor Ombudsman. Menurut
Danang Girindrawardana hubungan LPSK dan Ombudsman dapat lebih dalam lagi yakni
menciptakan sistem informasi dan konsolidasi lembaga-lembaga dengan tetap
berada pada koridor Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Wakil Ketua
Ombudsman Azlaini Agus menambahkan bahwa Ombudsman telah melakukan perlindungan
melalui mekanisme kerahasiaan pelapor, namun tampaknya pada beberapa kasus
tertentu perlindungan kerahasiaan tersebut dirasakan belum cukup[20].Hasil dari pembahasan
tahap awal ini adalah pembentukan tim serta penyusunan substansi-substansi
kerjasama ORI dan LPSK, kerjasama dengan media massa sebagai penggalang
dukungan masyarakat, sosialisasi internal. Kegiatan tindak lanjut ini akan
dirancang sesegera mungkin dengan terfokus pada penandatanganan MoU,
konsolidasi antar lembaga KPK, LPSK, ORI dan lembaga-lembaga lain yang terkait
dan pembangunan system informasi dan kerjasama antar lembaga.
3. MoU
Ombudsman dan BPN mengenai Administrasi Pertanahan
Rencana Lembaga Ombudsman dan Badan Pertanahan Nasional
pada bulan Agustus ini akan segera menandatangani nota kesepahaman tentang
administrasi pertanahan. Ketua Ombudsman Danang
Girindrawardana mengatakan nota kesepahaman tersebut untuk memperlancar
pengawasan aduan masyarakat atas layanan publik BPN. Selama ini, masyarakat
banyak mengadukan lambannya eksekusi keputusan peradilan soal tanah dan
pelayanan administrasi BPN. Sebelumnya Lembaga Ombudsman menyebutkan bahwa BPN
sebagai lembaga yang paling buruk dalam melayani publik. Ombudsman bahkan
menilai, BPN tidak tanggap dalam menangani keluhan-keluhan yang disampaikan
masyarakat. Atas keluhan-keluhan tersebut, lembaga Ombudsman memanggil Kepala
BPN untuk membahasnya.[21]
2.4 Kasus yang Ditangani
oleh Komisi Ombudsman Nasional[22]
1.
Conflict of Interest
pada Hakim Agung
Pelapor bernama S.Padma melalui kuasanya
dari Kantor Pengacara xx, melaporkan permasalahannya yang pada intinya sebagai
berikut :
a.
Telah terjadi eksekusi
perkara perdata Nomor : 186/1982.G Pengadilan Negeri Jakarta Barat sesuai
dengan Berita Acara Eksekusi Nomor : 186/1982.G tanggal 13 Februari 1983
b.
Terhadap eksekusi
tersebut PT Green Ville Real Estate mengajukan perlawanan di Pengadilan Negeri
Jakarta Barat tercatat dalam register perkara Nomor : 106/1983.G jo Nomor:
584/PDT/1982/PT DKI jo. Nomor : 1323 K/PDT/19888 jo. Nomor : 344 PK/PDT/1998
dimana permohonan Peninjauan Kembali Pelapor kepada Mahkamah Agung RI ditolak.
c.
Ketua Majelis Hakim
dalam pemeriksaan Peninjauan Kembali adalah Hakim Agung yang pada tahun 1985
dalam kapasitas sebagai Ketua Tim Gabungan Opstibpus telah terlibat dalam
perkara dimaksud. Pada waktu itu Tim Gabungan Opstibpus dengan surat Nomor :
K-92/Opstibpus/XII/1984 telah menemukan adanya penyimpangan-penyimpangan.
Komisi Ombudsman Nasional telah mengirim surat kepada Mahkamah Agung RI
berkenaan dengan dugaan adanya konflik kepentingan dalam pemeriksaan perkara
yang dilaporkan, namun tidak ada tanggapan ataupun pemeriksan yang dilakukan
oleh Mahkamah Agung RI.
2.
Penyalahgunaan Kekuasaan oleh Jaksa Agung
Komisi Ombudsman Nasional telah menerima
laporan dari Keluarga SB yang melaporkan Jaksa Agung RI yang diduga
menyalahgunakan kekuasaannya dengan melakukan persuasi, pemaksaan dan
intimidasi agar Gubernur BI mengundurkan diri. Selain itu penahanan SB
melanggar prosedur yakni tidak memberitahukan kepada keluarganya. Komisi
memberikan Rekomendasi kepada Jaksa Agung RI guna memberikan klarifikasi
seputar masalah tersebut , Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak
Pidana Khusus memberikan klarifikasi melalui surat Nomor : B-782/F/08/2000
tertanggal 11 Agustus 2000 yang intinya menolak dugaan tersebut. Komisi
menyarankan kepada Pelapor untuk melakukan tindakan hukum demi menguji
kebenaran dugaan tersebut.
3.
Penyegelan Hotel oleh Pemerintah Daerah DKI
Jakarta
Komisi Ombudsman Nasional menerima
laporan pengaduan dari RS. Pelapor menyampaikan bahwa Hotel yang dimilikinya
dikuasai tanpa bukti jelas oleh PT. Ayu Kumala Lestari. Pihak Pemda DKI
mengetahui hal tersebut namun tidak berusaha berbuat sesuatu untuk
menyelesaikan masalah tersebut. Pada tanggal 14 September 1955, Mahkamah Agung
RI mengeluarkan surat putusan Nomor : 86 K/TUN/1994 yang memenangkan Pelapor
dan meminta pihak Pemda DKI untuk melaksanakan putusan yang sudah berkekuatan
hukum tetap, yaitu memerintahkan pihak PT. Ayu Kumala Lestari menghentikan
kegiatan operasionalnya. Namun pihak Pemda DKI tidak melaksanakannya secara
konsisten. Komisi mengirimkan surat Rekomendasi Nomor : 0262/KON-Lapor/VII/2000
tanggal 11 Juli 2000, kepada Gubernur DKI Jakarta, untuk mengadakan klarifikasi
atas laporan tersebut, Pihak Pemda DKI memberikan tanggapannya dengan surat
Nomor : 224/078.1, tanggal 31 Juli 2000, yang menyatakan bahwa pihaknya telah
mengosongkan Hotel Chitra tersebut. Namun tidak mengeluarkan izin pendirian
hotel yang baru.
4.
Komersialisasi perkara oleh oknum-oknum
Kejaksaan
Sebuah Organisasi Non Pemerintah yang
bernama GEBUK di Jawa Tengah menemukan adanya sinyalemen praktek-praktek
komersialisasi perkara. Dari investigasi yang dilakukan, GEBUK sampai pada
suatu kesimpulan, diduga kuat telah terjadi praktek-praktek komersialisasi
perkara yang dilakukan oleh oknum-oknum pejabat Kejaksaan. Praktek
komersialisasi tersebut dilakukan dengan cara bujuk rayu bahkan dengan cara
berupa ancaman-ancaman tertentu. Biasanya oknum Kejaksaan menawarkan jasa untuk
mengurus kasus Terdakwa agar hukumannya ringan. Tawaran tersebut disertai
dengan ancaman apabila tidak diurus maka oknum Kejaksaan tersebut tidak
bertanggung jawab bila terjadi apa-apa.
Temuan tersebut kemudian oleh GEBUK
dilaporkan kepada Komisi Ombudsman Nasional. Menindaklanjuti temuan tersebut,
pada tanggal 30 April 2001, Komisi Ombudsman Nasional mengirim surat kepada
Jaksa Agung RI Nomor : 1197/KON-Lapor.1658/ IV/2001-DM berisi Rekomendasi agar
Jaksa Agung melakukan penelitian dan mengambil tindakan sesuai ketentuan yang
berlaku. Empat bulan kemudian, Jaksa Agung Muda Pengawasan memberikan
penjelasan melalui surat nomor : R-1011/H/H.3/08/ 2001 tertanggal 29 Agustus 2001,
bahwa setelah dilakukan pemeriksaan, terbukti Jaksa telah melakukan
penyimpangan dalam menangani perkara dimaksud dan untuk itu jajaran Kejaksaan
Negeri terkait, terdiri dari Kepala Kejaksaan Negeri, Pejabat Kasi Pidum,
Pejabat Kasi Intelijen dan seorang Jaksa fungsional pada Kejaksaan Negeri
tersebut telah dijatuhi hukuman disiplin tingkat berat dan sedang. Untuk hal
tersebut, pada tanggal 27 September 2001 Komisi Ombudsman Nasional segera
menyampaikan hasil tindaklanjut yang sudah dilakukan Kejaksaan terhadap
rekomendasi Komisi Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
ombudsman Nasional dimaksud kepada Koordinator Bersama GEBUK melalui surat
nomor 0320/Kon-Srt.1658/IX/2001-DM.
5.
Penculikan yang tak kunjung terungkap
Seorang pengusaha penambangan pasir di
Sukabumi, Jawa Barat bernama JK Direktur PT. Cimangkok Pasirmas Mandiri menjadi
korban penculikan dan penganiayaan mengarah pada percobaan pembunuhan. Diduga
tindakan tersebut dilakukan sekelompok orang suruhan lawan bisnisnya yang melibatkan
oknum pejabat tertentu. Ada indikasi Kepolisian melakukan penundaan berlarut
pengusutannya sehingga setidaknya sudah setahun lebih perkara belum dapat
dilimpahkan ke Kejaksaan apalagi diperiksa di Pengadilan. Indikasi penundaan
dimaksud antara lain sebagai berikut ;
6.
Pada dasarnya sudah
dapat teridentifikasi sebuah barang bukti berupa Mobil Panther berwarna hijau
Nomor Polisi B 7326 P sebagaimana diduga telah digunakan dalam aksi penculikan
dan penganiayaan terhadap Pelapor.
7.
Kepolisian tidak menunjukkan
profesionalitas mengungkap perihal mobil Panther dimaksud. Oleh karena itu,
Pelapor mengambil inisiatif melakukan pelacakan sendiri dan diperoleh data dari
Polda Metro Jaya bahwa mobil Panther warna hijau Nopol B 7326 P adalah milik
PT. FS diduga selama ini Direkturnya menjadi dalang dari kasus penculikan dan
penganiayaan terhadap Pelapor.
8.
Kesaksian yang
diberikan antara lain oleh seorang Saksi Kunci yang telah diajukan ke Mabes
Polri ternyata belum ditindaklanjuti sebagaimana mestinya.
Diduga Kepolisian
setempat sengaja menutupi aktor intelektual yang mendalangi penculikan dan
penganiayaan tersebut, sehingga proses tidak dilakukan sebagaimana mestinya.
Menindaklanjuti temuan Pelapor tersebut, pada tangggal 12 Juni 2001 Komisi
mengirimkan surat yang ke empat, Nomor : 1406/ KON-Lapor.0806/VI/2001-bm. Pada
tanggal 15 Oktober 2001, Pelapor memberikan informasi bahwa Mabes Polri telah
mengambil alih penanganan kasus penculikan dan penganiayaan tersebut. Selain
itu, pada jajaran Kepolisian di Propinsi Jawa Barat juga terjadi mutasi jabatan
terhadap Kapolda Jawa Barat, Kapolres Sukabumi dan Kasat Serse Polres Sukabumi.
Setelah terjadi pergantian para pejabat Kepolisian tersebut secara
perlahanlahan peristiwa penculikan yang telah (hampir) dipetieskan lebih dari 1
(satu) tahun akhirnya dibuka dan digelar kembali. Komisi memberikan kesempatan
kepada Kepolisian bahwa mereka masih mampu berperan sebagai benteng keadilan
masyarakat.
9.
Walikota yang tidak
melaksanakan putusan pengadilan
Pendapat bahwa semua orang sama didepan
hukum masih sebatas retorika saja, hal ini terbukti dari contoh laporan ini,
namun kesadaran muncul manakala masyarakat secara terus menerus tanpa putus asa
memperjuangkan haknya, apa yang menjadi haknya akan diperoleh. Seorang Pelapor
yang beralamat di Bintaro Jaya, Jakarta Selatan, sebagai ahliwaris dari H.
Katili Bin Lasimpala bernama Diana Katili merasa dirugikan atas tindakan
Pemerintah Daerah Kota madya Jakarta Selatan dalam pelaksanaan Proyek Outer
Ring Road berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta No.1708 tertanggal 27 Agustus
1988. Seyogyanya, tanah Diana Katili seluas lebih kurang 1000 M2 yang terkena
proyek tersebut mendapat ganti rugi senilai Rp. 25.653.600, - (dua puluh lima
juta enam ratus lima puluh tiga ribu enam ratus rupiah).
Tetapi sampai saat menyampaikan
laporannya kepada Komisi Ombudsman Nasional, ganti rugi tersebut belum
direalisasikan. Diana Katili pernah dua kali menanyakan perihal ganti rugi yang
belum terealisasi tersebut kepada Walikota Jakarta Selatan. Pertanyaan tersebut
tidak mendapat jawaban yang memuaskan. Melalui suratnya tertanggal 7 April 1989
Nomor : 44/1.711.9 tanggal 7 April 1989, Walikota Jakarta Selatan mengatakan
bahwa permohonan ganti rugi sudah tidak relevan karena permasalahannya telah
diselesaikan melalui Pengadilan dan putusannyapun telah berkekuatan hukum
tetap.
Komisi Ombudsman Nasional
menindaklanjuti keluhan tersebut, pada tanggal 7 Maret 2001 Komisi mengirimkan
surat nomor : 1004/KON-Lapor.1455/III/2001-ER kepada Walikota Jakarta Selatan
berisi permintaan klarifikasi sekaligus memberikan rekomendasi untuk secara
sungguh-sungguh mengambil langkah penyelesaian guna mengembalikan hak-hak Diana
Katili. Pada tanggal 16 Juli 2001, Diana Katili menulis surat kepada Komisi
Ombudsman Nasional, mengucapkan terimakasih, karena dengan Rekomendasi Komisi,
akhirnya ganti ruginya terealisir.
10.
Dugaan adanya putusan ganda atas perkara
Kasasi di Mahkamah Agung RI Pada awal Juni 2001, Komisi Ombudsman Nasional
menerima surat dari Mahkamah Agung RI Nomor: MA/PAN/133/V/2000 tertanggal 22
Mei 2001. Surat tersebut sebagai tindaklanjut dari Rekomendasi Nomor:
0370.KON-Lapor/VIII/2000-wn tentang dugaan adanya putusan ganda atas perkara
Kasasi Mahkamah Agung RI nomor: 1275 K/PID/1998. Rekomendasi tersebut disusun
berdasarkan keluhan seorang pelapor yang mengaku mendapat keterangan dari
Panitera Pengganti dalam perkara Kasasi Nomor: 1275 K/Pid/1998 bahwa terhadap
perkara dimaksud telah terjadi perubahan putusan. Semula Majelis Hakim Agung
menolak permohonan kasasi dan putusannya telah disiapkan oleh Panitera
Pengganti. Beberapa waktu kemudian ada putusan baru yang amarnya menerima
permohonan kasasi.
Menindaklanjuti rekomendasi Komisi
Ombudsman Nasional, Mahkamah Agung RI telah memberikan penjelasan bahwa benar
adanya putusan Kasasi Register Nomor : 1257 K/Pid/1998 yang dilaksanakan
ucapannya pada tanggal 7 Desember 1998. Adapun putusan yang diterima oleh
Pelapor dari salah seorang Pegawai Mahkamah Agung RI bukanlah produk resmi
Mahkamah Agung RI yang diucapkan pada tanggal 7 Desember 1988, melainkan baru
merupakan konsep hasil musyawarah pada tanggal 9 Nopember 1998. Oleh karena itu
Mahkamah Agung RI menyatakan tidak ada putusan ganda. Atas berbagai hal
tersebut, Mahkamah Agung RI melakukan pemeriksaan terhadap jajaran pegawai
struktural. Hasilnya adalah bahwa seorang pegawai diberi sanksi dalam bentuk
teguran tertulis karena tidak memonitor putusan yang telah dibuat dan lamban
mengirimkan putusan disebabkan terdapat kekeliruan penulisan nama tetapi tidak
segera dilaporkan kepada pimpinan.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang
dipaparkan di dalam isi dan pembahasan, maka adapun kesimpulan dari penulisan
makalah ini adalah:
1.
Dalam menjalankan fungsi dan
tugas, menurut ketentuan Pasal 8 UU No. 37 Tahun 2008 tentang ORI, wewenang Ombudsman
diatur di dalam ayat (1) sedangkan dalam menjalankan fungsi dan tugas ombudsman
diatur di dalam Pasal 6 dan Pasal 7.
2.
Ombudsman merupakan salah satu
kelembagaan antikorupsi yang direkomendasikan ketetapan (TAP) MPR Nomor VIII
tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
Lembaga antikorupsi lain, yang juga direkomendasikan dibentuk
perundangundangannya meliputi Komisi Antikorupsi, Pencucian Uang, Perlindungan
Saksi, Kebebasan Memperoleh Informasi dan sebagainya.
3.
Keberadaan Ombudsman Republik Indonesia
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menurut konsep pembagian kekuasaan pada
prinsipnya berperan sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi pengawasan
terhadap pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara.
Ombudsman Republik Indonesia ditinjau menurut fungsi kelembagaan merupakan
lembaga penunjang dalam ranah kekuasaan legislatif dan yudikatif.
4.
Ombudsman di Indonesia
telah menangani beberapa kasus diantaranya yaitu: 1) Penyegelan Hotel oleh
Pemerintah Daerah DKI Jakarta; 2) Penyalahgunaan Kekuasaan oleh Jaksa Agung; 3)
Conflict of Interest pada Hakim Agung; dan lain-lain.
3.2
Saran
Di dalam penulisan makalah ini,
adapun saran yang dapat diberikan antara lain:
1.
Para penulis
mengharapkan Ombudsman di Indonesia ini dapat menjalankan wewenang dan tugasnya
dengan semaksimal mungkin.
2.
Di dalam penulisan
makalah ini, para penulis mengharapkan Ombudsman dapat bekerja sama dengan baik
bersama lembaga-lembaga anti korupsi di Indonesia dalam memberantas KKN.
3.
Di dalam penulisan
makalah ini, para penulis mengharapkan Ombudsman dapat menjalankan kewajibannya
sesuai dengan kedudukannya di dalam ketatanegaraan Indonesia.
4.
Para penulis
mengharapkan kasus-kasus tindak pidana yang ada di Indonesia dapat ditangani dengan
baik dan tidak ada lagi kasus-kasus yang muncul nantinya.
DAFTAR PUSTAKA
Antonius Sujata,
“Ombudsman dan Gerakan Antikorupsi”, www.ombudsman.go.id
Antonius Sujata,dkk. 2002. “Ombudsman Indonesia Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang”. Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional.
C.F.G. Sunaryati
Hartono. 2005. “Pemberantasan dan
Pencegahan Korupsi Secara Sistemik, dalam Peranan Ombudsman Dalam Pemberantasan
dan Pencegahan Korupsi serta Pelaksanaan Pemerintahan Yang Baik, Komisi
Ombudsman Nasional”. Jakarta.
http://www.legalitas.ombudsman
co.id
Ibnu Tricahyo, “Posisi
Ombudsman Dalam Ketatanegaraan Republik Indonesia”, makalah disampaikan
pada Diskusi Panel Ombudsman RI dan KPP tanggal 12 Pebruari 2009.
J.M. Papasi. Ilmu Politik: Teori dan Praktik.
(Yogyakarta: Graha Ilmu. 2010),
Jurnal Fakultas Hukum. Muhammad Ali Gandhi. Tinjauan
Hukum Kewenangan Ombudsman Dalam
Mengawasi Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Kota Makassar, 2012
Jurnal Fakultas
Hukum. Muhammad Ali Gandhi. Tinjauan Hukum Kewenangan Ombudsman Dalam Mengawasi Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Kota
Makassar, 2012
Marnis. Pengantar Manajemen. (Pekanbaru: PT.
Panca Abdi Nurgama, 2009)
Mei, 2010. Ombudsman dan Pengawasan Terhadap Aparatur Negara Pasca Reformasi. Http://ocemadril.wordpress.com
Muchsan, Sistem
Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara
di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2000.
Saiful Anwar, “Sendi-sendi
Hukum Tata Negara Indonesia (Era Reformasi)”, Medan: Gelora Madani Press,
2004, hal. 101.
Timur Pardopo,
pada Penandatanganan MoU Polri dan Komisi Ombudsman di Mabes Polri, Jl.
Trunojoyo, Jaksel, Kamis 26 Mei 2011
Tjipta Lesmana.
2004. “Ombudsman Indonesia Mau Dimatikan”.
Jakarta:Sinar Harapan.
Undang-Undang
Republik Indonesia
Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman
Republik Indonesia
UU No. 37 tahun
2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.
[1] Mei, 2010. Ombudsman dan Pengawasan Terhadap Aparatur Negara Pasca Reformasi. Http://ocemadril.wordpress.com
[2] Muchsan, Sistem
Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara
di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2000. hal. 36
[3] Jurnal
Fakultas Hukum. Muhammad Ali Gandhi. Tinjauan Hukum Kewenangan Ombudsman Dalam Mengawasi Penyelenggaraan Pelayanan
Publik di Kota Makassar, 2012
[4]
http://www.legalitas.ombudsman co.id
[5] Jurnal Fakultas Hukum.
Muhammad Ali Gandhi. Tinjauan Hukum Kewenangan Ombudsman Dalam Mengawasi Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Kota
Makassar, 2012
[6] J.M. Papasi. Ilmu Politik: Teori dan Praktik.
(Yogyakarta: Graha Ilmu. 2010), hlm 24
[7] Ibid
[8] Marnis. Pengantar Manajemen. (Pekanbaru: PT.
Panca Abdi Nurgama, 2009) hlm. 344
[9] Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia
[10] Tjipta Lesmana. 2004. “Ombudsman Indonesia Mau Dimatikan”.
Jakarta:Sinar Harapan.
[11] Pasal 7 UU No. 37 tahun
2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.
[12] C.F.G. Sunaryati
Hartono. 2005. “Pemberantasan dan
Pencegahan Korupsi Secara Sistemik, dalam Peranan Ombudsman Dalam Pemberantasan
dan Pencegahan Korupsi serta Pelaksanaan Pemerintahan Yang Baik, Komisi
Ombudsman Nasional”. Jakarta. Hal. 134.
[13] Antonius Sujata, “Ombudsman dan Gerakan Antikorupsi”, www.ombudsman.go.id, diakses tanggal 24
Februari 2010.
[14] Ibid.
[15] Saiful Anwar, “Sendi-sendi
Hukum Tata Negara Indonesia (Era Reformasi)”, Medan: Gelora Madani Press,
2004, hal. 101.
[16] Ibnu Tricahyo, “Posisi
Ombudsman Dalam Ketatanegaraan Republik Indonesia”, makalah disampaikan pada
Diskusi Panel Ombudsman RI dan KPP tanggal 12 Pebruari 2009.
[17] Herlambang Perdana Wiratraman, sinkronisasi hubungan antar lembaga negara dalam
sistem presidensial. politik hukum amandemen kelima uud 1945, Makalah
disampaikan pada Pertemuan Ahli Hukum Tata Negara dengan tema: “Memperkuat
Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Melalui Perubahan Kelima UUD Negara Republik
Indonesia 1945”, diselenggarakan oleh Pusat Studi Konstitusi (PusKon)
Universitas 45 Makassar dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Makassar 29
Juni-1 Juli 2007.
[18] Herry Wibawa, Op. Cit. hal. 164
[19] Timur Pardopo, pada
Penandatanganan MoU Polri dan Komisi Ombudsman di Mabes Polri, Jl. Trunojoyo,
Jaksel, Kamis 26 Mei 2011
[20] Pembahasan tahap awal ini adalah pembentukan tim
serta penyusunan substansi-substansi kerjasama ORI dan LPSK, dan kerjasama
dengan media massa.
[21] Pembahasan tahap awal
penyusunan substansi-substansi kerjasama ORI dan BPN
[22]
Antonius Sujata,dkk. 2002. “Ombudsman Indonesia Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang”. Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional. Hal: 57
0 comments:
Posting Komentar