22 Juli 2016

Makalah : Ombudsman dalam Ketatanegaraan Republik Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Gerakan reformasi mengamanatkan perubahan kehidupan ketatanegaraan yang didasarkan pada pemerintahan yang demokratis dan berlandaskan hukum (rule of law). Sebelum reformasi, praktik pemerintahan cenderung diwarnai praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kondisi tersebut membuat masyarakat tidak percaya pada aparat pemerintah, sehingga untuk memperbaki citra pemerintahan, mutlak diperlukan pemerintahan yang baik dan bersih (good governance) melalui upaya penegakan asas-asas pemerintahan yang baik dan penegakan hukum.
Dalam rangka menegakkan pemerintahan yang baik dan upaya meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat, maka diperlukan keberadaan lembaga pengawas yang secara efektif mampu mengontrol penyelenggaraan tugas aparat penyelenggara negara. Selama ini, pengawasan secara internal dinilai kurang memenuhi harapan masyarakat dari sisi obyektifitas dan akuntabilitas. Sehingga, dibutuhkan lembaga pengawas eksternal agar mekanisme pengawasan pemerintahan bisa diperkuat dam berjalan secara lebih efektif untuk mewujudkan birokrasi yang bersih, transparan dan responsif terhadap kebutuhan publik.[1]
Sebelum reformasi, sistem pengawasan diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) nomor 15 tahun 1983. Namun, peraturan hukum tersebut tidak memberikan keterangan yang tegas dan jelas mengenai apa yang dimaksud dengan pengertian pengawasan itu sendiri.
Menurut George R. Terry, pengawasan adalah `Control is to determine what is accomplished evaluate it, and apply corrective measures, if needed to insure result in keeping with the plan.` Sedangkan Newman berpendapat bahwa `Control is assurance that the performance conform to plan.` Kemudian, Siagian memberikan definisi tentang pengawasan bahwa proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organsasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan.[2]
Di Indonesia, pada tanggal 20 Maret 2000 lahir lembaga Ombudsman Indonesia yang diberi nama "Komisi Ombudsman Nasional" berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000. Kemudian lembaga tersebut dibentuk kembali berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (UU 37/2008) yang disetujui pembuat Undang-Undang dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 9 September 2008, dengan nama ”Ombudsman Republik Indonesia”.[3]
Ombudsman Republik Indonesia memiliki kewenangan mengawasi pemberian pelayanan umum oleh penyelenggara negara dan pemerintah kepada masyarakat. Penyelenggara negara dimaksud meliputi Lembaga Peradilan, Kejaksaan, Kepolisian, Badan Pertanahan Nasional, Pemerintah Daerah, Instansi Departemen dan Non-Departemen, BUMN, dan Perguruan Tinggi Negeri, serta badan swasta dan perorangan yang seluruh/sebagian anggarannya menggunakan APBN/APBD. [4]
Untuk itu, dibentuklah Ombudsman Republik Indonesia yang merupakan lembaga negara bersifat mandiri dan tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga negara dan instansi pemerintahan lainnya, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya. Ombudsman Republik Indonesia ini diharapkan mampu menjadi lembaga yang benar-benar menjalankan tugas dan fungsinya. Oleh karena itu, kelompok kami ingin mengetahui tentang perkembangan ombudsman di Indonesia ini. Adapun di dalam makalah ini kelompok kami memberikan judul “Ombudsman dalam Ketatanegaraan Republik Indonesia”.


1.2    Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, maka adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1.      Apa sajakah tugas dan wewenang dari Ombudsman Republik Indonesia ini?
2.      Bagaimana hubungan Ombudsman dengan anti korupsi di Indonesia?
3.      Bagaimanakah kedudukan Ombudsman dalam ketatanegaraan Republik Indonesia?
4.      Kasus apa sajakah yang pernah ditangani oleh Ombudsman di Indonesia?

1.3    Tujuan
Setelah melihat beberapa rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.      Untuk menjabarkan tugas dan wewenang dari Ombudsman Republik Indonesia.
2.      Untuk mengetahui hubungan Ombudsman dengan anti korupsi di Indonesia.
3.      Untuk mengetahui kedudukan Ombudsman dalam ketatanegaraan Republik Indonesia.
4.      Untuk mengetahui kasus-kasus yang pernah ditangani oleh Ombudsman di Indonesia.
1.4    Manfaat
Manfaat yang dapat diambil dari penulisan makalah ini adalah:
1.      Makalah ini diharapkan mampu memberikan informasi dan sumber pengetahuan bagi penulis dan pembaca.
2.      Makalah ini diharapkan dapat dijadikan bahan dan sumber bacaan bagi penulis ataupun pembaca.

1.5    Kerangka Teoritik
Landasan teori yang digunakan adalah teori kelembagaan, dimana Ombudsman ini diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (UU 37/2008) yang disetujui pembuat Undang-Undang dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 9 September 2008, dengan nama ”Ombudsman Republik Indonesia”.[5]
Menurut Macridis, dalam bukunya “Comparative Politics” menguraikan lembaga politik negara dengan unsur-unsurnya sebagai berikut:[6]
1.         Membahas mengenai konstitusi “constitution” atau Undang-undang dasar sebagai suatu lembaga politik negara, Of UUD 1945.
2.    Membahas mengenai lembaga politik negara yang sudah lazim sampai sekarang, eksekutif “the executive”, legislative “the legislative”, dan yudikatif “the judiciary”.
3.    Membahas mengenai lembaga administrasi/birokrasi “administration”.
4.    Membahas mengenai lembaga control politik dan tanggung jawab politik.
Menurut Laski dalam bukunya “A Grammer of Politics” menguraikan tentang lembaga politik negara dengan pokok uraian berikut:[7]
1.    Membahas mengenai lembaga politik negara, eksekutif, legislative, dan yudikatif mengenai perkembangannya melalui teori pemisahan kekuasaan , pengaruh teori Montesqueu
2.    Membahas mengenai lembaga organisasi warga negara, dalam teori politik disebut “interest group” dan “political interest group” dan masalah kepentingan umum, “public interest”.
3.    Membahas mengenai lembaga pemilihan umum dan sistem pemilu yang dianut, distrik dan proporsional dan atau campuran keduanya, dan mengenai sistem kepartaian
4.    Membahas mengenai lembaga control “public governance” administrasi public, sistem departemen dan daerah.
Marnis ( 2009 : 344 ) mengatakan pengawasan adalah proses pemonitorian kegiatan organisasional untuk mengetahui apakah kinerja actual sesuai dengan standar dari tujuan organisasional yang diharapkan.[8]Pengawasan yaitu suatu tindakan mengawasi pekerjaan agar sesuai dengan yang ditetapkan. Dalam materi pengawasan pemerintahan, terdapat empat bentuk pengawasan, yaitu administrative control, political control, legal control, dan social control. Ombudsman merupakan contoh yang masuk kedalam bentuk legal control. Legal control merupakan pengawasan yang biasa dilakukan oleh yudikatif.
Ombudsman Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.[9]


BAB II
PEMBAHASAN

Untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap birokrasi, salah satu langkah penting yang ditempuh pemerintah pasca reformasi adalah dengan memperkuat pengawasan terhadap birokrasi dengan membentuk lembaga pengawas eksternal, yakni lembaga ombudsman. Lembaga ini dibentuk pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid berdasarkan Keputusan Presiden nomor 44 tahun 2000. Kemudian, dasar hukum ombudsman diperkuat dalam bentuk Undang-undang (UU), yakni UU nomor 37 tahun 2008.
Secara internasional, tidak kurang 65 negara kini memiliki lembaga Ombudsman yang keberadaannya bahkan diatur dalam konstitusi. Ombudsman di negara-negara yang sudah lama memilikinya seperti Finlandia, Swedia, dan Norwegia, dinamai “Parliamentary Ombudsman”. Ini terkait dengan para anggotanya dipilih dan diangkat oleh parlemen, sehingga kedudukan mereka sangat kuat. Ombudsman Finlandia dan Polandia diberikan kewenangan untuk mengawasi lembaga peradilan sekaligus menghukum hakim-hakim yang terbukti korup. Kemudian, hampir semua negara eks Komunis di Eropa Timur, termasuk Rusia, kini memiliki sistem Ombudsman; apalagi negara-negara maju seperti Amerika, Inggris, Belanda, Australia dan Selandia Baru. Negara-negara Afrika yang tergolong sebagai negara berkembang seperti Zambia, Ghana, Uganda, Pantai Gading, Burkina Faso dan Kamerun, juga mempunyai Ombudsman[10].
Ombudsman Republik Indonesia bermula dari dibentuknya "Komisi Ombudsman Nasional" pada tanggal 20 Maret 2000 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000. Peran Komisi Ombudsman Nasional saat itu adalah melakukan pengawasan terhadap pemberian pelayanan publik oleh penyelenggara negara, termasuk BUMN/BUMD, lembaga pengadilan, Badan Pertanahan Nasional, Kepolisian, Kejaksaan, Pemerintah Daerah, Departemen dan Kementerian, Instansi Non Departemen, Perguruan Tinggi Negeri, TNI, dan sebagainya.
Pembentukan lembaga Ombudsman di Indonesia didasarkan pada beberapa pertimbangan, yakni, pertama, bahwa pelayanan kepada masyarakat dan penegakan hukum yang dilakukan dalam rangka penyelenggaraan negara dan pemerintahan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk menciptakan pemerintahan yang baik, bersih, dan efisien guna meningkatkan kesejahteraan serta menciptakan keadilan dan kepastian hukum bagi seluruh warga negara.
Kedua, bahwa pengawasan pelayanan yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan merupakan unsur penting dalam upaya menciptakan pemerintahan yang baik, bersih, dan efisien serta sekaligus merupakan implementasi prinsip demokrasi yang perlu ditumbuhkembangkan dan diaplikasikan guna mencegah dan menghapuskan penyalahgunaan wewenang oleh aparatur penyelenggara negara dan pemerintahan. Terakhir, pembentukan Ombudsman sebagai bagian dari pemberdayaan masyarakat agar turut terlibat aktif untuk melakukan pengawasan terhadap aparat pemerintah sehingga akan lebih menjamin penyelenggaraan negara yang jujur, bersih, transparan, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Pemberdayaan pengawasan oleh masyarakat ini merupakan implementasi demokratisasi yang perlu dikembangkan serta diaplikasikan agar penyalahgunaan kekuasaan, wewenang ataupun jabatan oleh aparatur negara dapat diminimalisasi.
Dalam menjalankan kewenangannya KON berpegang pada asas mendengarkan kedua belah pihak (imparsial) serta tidak menerima imbalan apapun baik dari masyarakat yang melapor atau pun instansi yang dilaporkan. KON tidak memiliki kewenangan menuntut maupun menjatuhkan sanksi kepada instansi yang dilaporkan, namun memberikan rekomendasi kepada instansi untuk melakukan self-correction. Penyelesaian keluhan oleh KON merupakan salah satu upaya alternatif penyelesaian masalah (alternative dispute resolution) di samping cara lainnya yang membutuhkan waktu yang relatif lama dan biaya yang harus dikeluarkan.
Dasar Hukum pembentukan Ombudsman di Indonesia:
a.       Ketetapan MPR No : VIII/MPR/2001
b.      Undang-Undang No.25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas)
c.       Keppres No.44 Tahun 2000
Visi Komisi Ombudsman Nasional:
1. Menjadi institusi publik mandiri dan terpercaya berasaskan Pancasila yang mengupayakan keadilan, kelancaran dan akuntabilitas pelayanan pemerintah, penyelenggara pemerintahan sesuai asas-asas pemerintahan yang baik dan bersih (good governance dan clean governance) serta peradilan yang tidak memihak berdasarkan asas-asas supremasi hukum dan berintikan keadilan.
2. Ombudsman Nasional sebagai Institusi Publik dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat, diangkat oleh Kepala Negara dan diatur dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia sehingga memperoleh kepercayaan masyarakat, dilaksanakan oleh orang-orang dengan integritas serta akuntabilitas yang tinggi.
Misi Komisi Ombudsman Nasional:
1. Mengupayakan secara berkesinambungan kemudahan pelayanan yang efektif dan berkualitas oleh institusi Pemerintah kepada masyarakat.
2. Membantu menciptakan serta mengembangkan situasi dan kondisi yang kondusif demi terselenggaranya pemerintahan yang baik dan bersih, serta bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
3. Memprioritaskan pelayanan yang lebih peka terhadap tuntutan dan kebutuhan masyarakat, dengan memberi pelayanan yang optimal serta membina koordinasi dan kerjasama yang baik dengan semua pihak (Institusi Pemerintahan, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, Pakar, Praktisi, Organisasi Profesi, dll).
4. Menciptakan lingkungan dan suasana kerja dengan komitmen penuh, standar integritas dan akuntabilitas tinggi, yang member dukungan bagi keberhasilan Visi dan Misi Ombudsman berdasarkan Pedoman Dasar dan Etika Ombudsman.
5. Melaksanakan manajemen secara terbuka, serta memberikan kesempatan yang terus menerus kepada seluruh staf untuk meningkatkan pengetahuan serta profesionalisme dalam menangani keluhan masyarakat.
6. Menyebarluaskan keberadaan serta kinerja Ombudsman kepada masyarakat dalam rangka turut meningkatkan kesadaran hukum Aparatur Pemerintah, Peradilan dan Lembaga Perwakilan Masyarakat, sehingga seluruh Daerah Otonomi Republik Indonesia merasa perlu membentuk Ombudsman di daerah dengan Visi dan Misi yang sama.

2.1               Tugas dan Wewenang Ombudsman

Dalam menjalankan fungsi dan tugas, menurut ketentuan Pasal 8 UU No. 37 Tahun 2008 tentang ORI, Ombudsman berwenang: ayat (1) Dalam menjalankan fungsi dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7, Ombudsman berwenang:
a.    Meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari Pelapor, Terlapor,atau pihak lain yang terkait mengenai Laporan yang disampaikan kepada Ombudsman;
b.    Memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pada Pelapor ataupun Terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu Laporan
c.    Meminta klarifikasi dan/atau salinan atau fotokopi dokumen yang diperlukan dari instansi manapun untuk pemeriksaan Laporan dari instansi terlapor
d.   Melakukan pemanggilan terhadap Pelapor, Terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan Laporan;
e.    Menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak;
f.     Membuat Rekomendasi mengenai penyelesaian Laporan, termasuk Rekomendasi untuk membayar ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan;
g.    Demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan Rekomendasi.
Selain wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ombudsman berwenang:
a.    Menyampaikan saran kepada Presiden, kepala daerah, atau pimpinan Penyelenggara Negara lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan/atau prosedur pelayanan publik;
b.   Menyampaikan saran kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan/atau kepala daerah agar terhadap undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya diadakan perubahan dalam rangka mencegah Mal-administrasi.
Berkaitan dengan mekanisme pengawasan oleh Ombudsman, menurut ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang ORI, menyatakan bahwa :
(1)               Ombudsman memeriksa Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;
(2)               Dalam hal Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat kekurangan, Ombudsman memberitahukan secara tertulis kepada Pelapor untuk melengkapi Laporan;
(3)               Pelapor dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal Pelapor menerima pemberitahuan dari Ombudsman harus melengkapi berkas Laporan;
(4)               Dalam hal Laporan tidak dilengkapi dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pelapor dianggap mencabut Laporannya.
Selanjutnya ketentuan Pasal 26 menyatakan :
(1)               Dalam hal berkas Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dinyatakan lengkap, Ombudsman segera melakukan pemeriksaan substantif;
(2)               Berdasarkan hasil pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ombudsman dapat menetapkan bahwa Ombudsman:
a.       tidak berwenang melanjutkan pemeriksaan; atau
b.      berwenang melanjutkan pemeriksaan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, pada dasarnya mekanisme pengawasan Ombudsman adalah diawali dengan adanya laporan, untuk selanjutnya ditindaklanjuti oleh Ombudsman. Jadi apabila tidak adanya laporan, maka pengawasan Ombudsman bersifat pasif.
Terkait dengan tugas, Ombudsman mempunyai tugas sebagai berikut:
1.    Menerima Laporan atas dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
2.    Melakukan pemeriksaan substansi atas Laporan;
3.    Menindaklanjuti Laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman;
4.    Melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
5.    Melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan;
6.    Membangun jaringan kerja;
7.    Melakukan upaya pencegahan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; dan
8.    Melakukan tugas lain yang diberikan oleh undang-undang[11]

2.2  Ombudsman dan Antikorupsi

Salah satu tujuan pembentukan Ombudsman dalam UU adalah untuk memberantas dan mencegah korupsi dikalangan aparat pemerintah. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa melenyapkan korupsi sampai ke akar-akarnya tidak cukup hanya dengan tindakan represif dengan memberikan hukuman kepada pelaku korupsi. Pemberantasan korupsi harus dimaknai sebagai bentuk tindakan yang komprehenshif, meliputi pencegahan, penindakan, dan perbaikan. Ombudsman merupakan salah satu kelembagaan antikorupsi yang direkomendasikan ketetapan (TAP) MPR Nomor VIII tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Lembaga antikorupsi lain, yang juga direkomendasikan dibentuk perundangundangannya meliputi Komisi Antikorupsi, Pencucian Uang, Perlindungan Saksi, Kebebasan Memperoleh Informasi dan sebagainya.
Disamping peran dan kewenangan sebagai pengawas penyelenggaraan pemerintahan, Ombudsman juga berperan dalam proses pemberantasan dan pencegahan Korupsi. Bahkan, sebagaimana ditunjukkan oleh TAP MPR, sesunggguhnya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bersama-sama dengan Komisi Ombudsman Nasional dilihat sebagai dua lembaga yang sama-sama berperan dalam Pemberantasan dan Pencegahan KKN, tetapi masing-masing diberi tugas dan kewenangan untuk memberantas dan mencegah KKN dari sudut dan melalui jalur yang berbeda. Bila Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertugas dan berperan memberantas KKN yang merupakan tindak pidana, dan karena itu bertindak sebagai Pengawas Kejaksaan dalam hal pemeriksaan dan penuntutan perkara pidana korupsi, yang bahkan dapat menggantikan/mengambil alih peran Kejaksaan itu, maka Komisi Ombudsman Nasional memberantas dan mencegah aspek-aspek KKN dari jalur yang lain, yaitu melalui jalur administrasi dan Penyelenggara Negara, serta melalui pengembangan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Benar (Good Governance)[12]
Kwik Kian Gie  pernah berpendapat bahwa untuk memberantas korupsi harus dimulai dari membersihkan manusia agar bebas korupsi atau setidaknya takut melakukan korupsi. Ia kemudian menawarkan konsep pemberantasan korupsi dengan menggunakan metode pemberian carrot and stick. Menurut Kwik Kian Gie, memberi kesejahteraan dan mempertegas hukuman (carrot and stick) bagi penyelenggara negara/pemerintah seharusnya menjadi starting point yang sangat penting dalam pemberantasan korupsi. Tentu saja dengan tidak mengabaikan perbaikan perangkat hukum, kelembagaan, sistem prosedur pengambilan keputusan dan transparansi.
Pada tahap inilah, peran Ombudsman sangat dibutuhkan. Sebab selain “menghukum” para pelaku korupsi, tidak kalah penting adalah mengawasi proses pemberian hukuman tersebut apakah sudah sesuai prosedur atau sarat dengan berbagai penyimpangan. Sehingga dalam hal ini, Ombudsman lebih berperan untuk melakukan pencegahan secara dini agar dalam setiap aspek pemberantasan korupsi tidak terjadi penyimpangan atau maladministrasi. Oleh karena itu, sebagai lembaga yang menitikberatkan pada pengawasan proses pemberian pelayanan umum, dalam konteks pemberantasan korupsi, Ombudsman lebih berperan guna mencegah terjadinya perilaku koruptif setiap aparatur penyelenggara negara/pemerintah. Peran ini dilaksanakan atas dasar pemikiran bahwa pemberantasan korupsi harus dimulai dengan memperbaiki sistem pelayanan umum. Pendapat ini dibangun dengan asumsi bahwa sistem pelayanan umum (termasuk proses penegakan hukum) menjadi tidak berjalan secara baik karena didalamnya sarat dengan praktek-praktek penyelenggaraan negara yang koruptif. Sehingga apabila proses pemberian pelayanan umum diawasi sedemikian rupa, maka setidaknya dapat mencegah adanya peluang bagi penyelenggara negara melakukan tindakan-tindakan yang koruptif[13].
Berbeda dengan tindakan hukum (repressive) bagi Koruptor, maka pencegahan (prevention) terhadap terjadinya praktek-praktek koruptif dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh banyak orang. Apabila kita bisa mencegah praktek-praktek koruptif dalam proses pemberian pelayanan umum seperti misalkan permintaan uang dalam pembuatan KTP, SIM, IMB dan perijinan lainnya, tentu lebih banyak orang yang merasakan dampaknya. Dengan demikian ratusan ribu bahkan jutaan orang di Indonesia dapat memperoleh pelayanan prima tanpa dibebani biaya-biaya tidak resmi yang memberatkan. Oleh karena itu, memasukkan upaya pencegahan korupsi sebagai bagian penting dalam strategi pemberantasan korupsi akan semakin melengkapi dan memperkuat gerakan antikorupsi di Indonesia.  Hal ini akan semakin memperjelas peran Ombudsman dalam gerakan antikorupsi di Indonesia. Apabila pemberantasan korupsi dimaknai sebagai bentuk tindakan yang komprehenshif, meliputi pencegahan (preventif), penindakan (represif), dan perbaikan (kuratif), permasalahannya adalah bagaimana mensinergikan peran masing-masing lembaga yang menjadi stakeholder gerakan antikorupsi sehingga menjadi kekuatan yang utuh dari hulu (pencegahan) sampai hilir (perbaikan).[14]

2.3  Kedudukan Ombudsman dalam Sistem ketatanegaraan RI

Keberadaan Ombudsman Republik Indonesia dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menurut konsep pembagian kekuasaan pada prinsipnya berperan sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi pengawasan terhadap pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara. Ombudsman Republik Indonesia ditinjau menurut fungsi kelembagaan merupakan lembaga penunjang dalam ranah kekuasaan legislatif dan yudikatif. Ombudsman Republik Indonesia menjadi lembaga penunjang dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap pelayanan publik. Ombudsman Republik Indonesia ditinjau menurut hirarki kelembagaan, Ombudsman Republik Indonesia pada saat dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2000 Tentang Komisi Ombudsman Nasional, secara hirarki Ombudsman Republik Indonesia termasuk ke dalam kategori organ lapis dua kelompok ketiga. Setelah dasar hukum Ombudsman Republik Indonesia diubah berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, kedudukan Ombudsman Republik Indonesia lebih kuat.
Dari dasar hukum berupa undang-undang ini, maka Ombudsman Republik Indonesia dapat dikategorikan sebagai organ lapis dua atau disebut sebagai lembaga negara kelompok kedua. Fungsi Ombudsman Republik Indonesia sebagai pengawas pelayanan publik merupakan salah satu upaya perwujudan good governance melalui tiga unsur pokok yang menjadi sari dari asas-asas umum pemerintahan yang baik (good governance) yaitu akuntabilitas publik, kepastian hukum dan transparansi publik.
Amandemen UUD 1945 menetapkan lembaga-lembaga negara di pemerintahan pusat adalah[15] :
1.    Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
2.    Presiden/Wakil Presiden dan Kementerian Negara;
3.    Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
4.    Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
5.    Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);
6.    Mahkamah Agung (MA);
7.    Mahkamah Konstitusi (MK).
Lembaga-lembaga negara di pemerintahan daerah menurut amandemen UUD 1945, adalah :
Ketatanegaraan Indonesia menurut amandemen UUD 1945 juga menempatkan “lembaga negara penunjang” (Auxilary Institutional Constitution), yaitu lembaga-lembaga negara yang diatur dalam konstitusi untuk membantu lembaga negara yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi negara demi terwujudnya tujuan negara.
Pasal 2 UU No. 37 Tahun 2008 menegaskan bahwa kedudukan Ombudsman adalah lembaga negara yang bersifat mandiri dan tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga negara dan instansi pemerintahan lainnya, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya.
Dari kedudukan ini, perlu diperjelas dimanakah posisi ORI dalam ketatanegaraan RI. UUD 1945 hasil perubahan menempatkan semua lembaga negara berada dalam posisi yang saling imbang dan kontrol (check’s and balances). 1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD); 2. Pemerintahan Daerah (Propinsi, Kabupaten/Kota).
Tidak ada lembaga negara yang lebih dominan dari pada lembaga negara lainnya, seperti masa supremasi MPR sebelum perubahan UUD 1945. Teori-teori klasik menjabarkan bahwa lembaga negara adalah alat kelengkapan negara yaitu institusi-institusi yang melaksanakan fungsi-fungsi negara. Teori ini terkenal dengan nama Trias Politica yang membagi beberapa fungsi negara ke dalam fungsi pembuat undang-undang (legislatif), fungsi penyelenggara pemerintahan (eksekutif), dan fungsi peradilan (yudikatif). Dalam perkembangan ketatenegaraan, teori ini sudah tidak lagi memadai untuk melakukan analisis hubungan antar cabang kekuasaan negara. Ketatanegaraan Indonesia sendiri, terutama setelah perubahan UUD 1945 telah berkembang begitu pesat sebagai upaya mewujudkan negara kesejahteraan (welfare state). Tidak hanya itu, lembaga-lembaga negara lain dan komisi-komisi negara juga telah tumbuh diluar UUD 1945.
Dengan kata lain kelembagaan negara di Indonesia tak bisa lagi dianalisis dengan pendekatan pemisahan kekuasaan model Trias Politica. Secara garis besar Lembaga Negara di Indonesia terbagai dalam dua kelompok, yaitu lembaga negara yang dibentuk melalui UUD dan lembaga negara yang dibentuk di luar UUD. Lembaga Negara yang pembentukannya diluar UUD seringkali disebut lembaga negara tambahan (ekstra auxiliary) atau lembaga negara secondary, dalam artian ia merupakan lembaga negara yang tidak terdapat dalam konstitusi, namun dibentuk melalui UU (regulatory body). Karena itu memahami kelembagaan negara Indonesia harus dilakukan melalui pendekatan tugas dan fungsinya. Tidak lagi seperti dulu, yang mengarah hanya kepada lembaga-lembaga yang pembentukan dan fungsinya diberikan oleh UUD.
ORI merupakan lembaga negara yang tidak terdapat dalam UUD. Kelahirannya dilakukan oleh UU dalam rangka pengawasan kinerja aparatur negara dan pemerintahan serta menampung keluhan masyarakat. Lembaga yang menjalankan fungsi seperti ini belum diatur dalam UUD. Oleh sebab itu, dalam sistem pemisahan kekuasaan, ORI dapat dikatagorikan sejajar dan tidak dibawah pengaruh satu kekuasaan lain. Dengan tugas dan fungsi seperti itu, keberadaan ORI sangat vital dalam pemenuhan perlindungan dan kesejahteraan masyarakat sebagai bagian tujuan bernegara.
Sehubungan dengan kedudukan ORI seperti di atas, maka Ombudsman bukan lagi menjadi domain pemerintah seperti halnya masa berlakunya Keppres No. 44 Tahun 2000. Pemerintah sudah tidak dapat lagi membentuk Ombudsman atau badan-badan dengan nama lain yang secara prinsip menjalankan tugas dan fungsi ORI. Tugas mengawasi kinerja lembaga negara dan pemerintahan serta menampung keluhan masyarakat telah beralih dan dilakukan oleh lembaga negara tersendiri dan menjalankan tugas dan fungsinya secara mandiri[16].
Untuk menjangkau tugas dan fungsi pengawasan, serta menampung keluhan masyarakat sampai ke daerah, oleh UU 37 Tahun 2008, ORI diberi keleluasaan membentuk Perwakilan di Daerah. Ombudsman daerah atau dengan istilah lain yang ada sekarang secara bertahap harus diintegrasikan menjadi kepanjangan (perwakilan) ORI. Dengan demikian pengawasan akan terstruktur dan terkoordinasi dengan baik mengenai standar, meknisme, prosedur, dukungan fasilitasi, dan lain-lain.
Menyangkut peran dan kewenangan Ombudsman yang perlu diperkuat, salah satu caranya adalah dengan menegaskan posisi dan kewenangannya secara konstitusional (constitutional organ and authority). Dalam sejarahnya, Komisi Konstitusi pernah memasukkan usulan Pasal 24 G yang mereka susun dan telah diserahkan kepada MPR periode 1999-2004. Namun, gagasan memberikan landasan konstitusional Ombudsman telah gagal, dan faktor inilah yang menyebabkan melemahnya posisi dan wewenang Ombudsman dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Memberikan landasan konstitusional terkait dengan posisi dan wewenang Ombudsman sangatlah penting, mendesak dan perlu diperluas tidak sekadar pengawasan atas pelayanan publik penyelenggara negara, melainkan pula terlibat dalam proses mendorong sistem peradilan yang efektif dan profesional.
Dalam kaitan terlibat dalam proses mendorong sistem peradilan yang efektif dan profesional, Ombudsman bisa diberikan fungsi untuk memantau penyelenggaraan persidangan yang independen (atas dasar pengaduan masyarakat) serta aktif dalam proses pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dengan jangkauan meluas wewenang Ombudsman, maka eksistensi Komisi Yudisial perlu dipertimbangkan kembali dengan penegasan fungsi yang bisa (digantikan) dimiliki
Ombudsman, yang selaras dengan penamaan dan fungsi kekuasaannya[17].Perubahan UUD 1945 perlu pula mengatur secara tegas dan progresif tanggung jawab utama negara, dalam hal ini pemerintah, untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak asasi manusia. Konsepsi progresifitas atau pemajuan hak-hak asasi manusia menjadi penting agar penyelenggara negara lebih memprioritaskan tanggung jawabnya, baik terhadap hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi sosial dan budaya. Dalam UUD 1945, tanggung jawab negara tidak diatur secara khusus terkecuali rumusan dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 1945) sebagaimana kewajiban individu dalam hak-hak asasi manusia (Pasal 28J UUD 1945).
Usulan kongkritnya, Pasal-Pasal tentang tanggung jawab negara dalam penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia haruslah dibuat secara khusus, termasuk konsekuensi impeachment ang menjadi landasan konstitusionalnya (misalnya: memasukkan klausul ”terbukti melakukan pelanggaran hak asasi manusia” dalam Pasal 7A UUD 1945). Selain itu, perlu dipertimbangkan pula bila hendak melakukan perubahan total UUD 1945 (bukan bersifat amandemen), yakni menempatkan pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia terlebih dahulu dalam Pasal-Pasal pembuka atu awal dalam struktur konstitusinya sebelum pengaturan tentang kekuasaan dan kelembagaan negara yang menjalankan kekuasaannya[18].
Untuk memperkuat kedudukan dan kewenangannya, Ombudsman telah melakukan kerjasama dengan beberapa instansi pemerintahan lainnya, seperti:
1.      Komisi Ombudsman Indonesia dan Mabes Polri
Komisi Ombudsman Indonesia dan Mabes Polri melakukan penandatanganan MoU terkait kerjasama pelaksanaan kewenangan Ombudsman pada tanggal 26 Mei 2011. Dengan menggandeng Polri, peran Ombudsman ke depan bisa lebih optimal. Kerjasama ini dilakukan dalam rangka pelaksanaan penyidikan tindak pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 44 UU No. 37 Tahun 2008 tentang ORI, yang menjadi bagian pengawasan eksternal untuk meangawasi masalah laporan dari masyarakat. “Intinya dari bagian pengawas eksternal seperti Komisi Kepolisian. Sehingga pengawasan pelaksanaan tugas Polri. Di samping internal ada Irwasum. Kami juga diawasi Ombudsman,” ujar Kapolri Jenderal Timur Pradopo[19]. Polri siap membantu Ombudsman untuk melaksanakan tugas-tugasnya sesuai peraturan perundang-undangan berlaku. Di dalam pelaksanaan di lapangan Komisi Ombudsman dan Polri bekerja sama, dengan komitmen bila ada permasalahan dalam kepolisian, wajib ditindaklanjuti dan diawasi oleh Ombudsman. Bila ada kesulitan dalam pengawasan Ombudsman dapat meminta bantuan kepada kepolisian negara.
Dalam Pasal 13 dan 44 UU No. 37 Tahun 2008, Ombudsman tidak dapat dilakukan sendiri dalam hal pemanggilan paksa, untuk itulah Ombudsman membutuhkan bantuan Polri dalam mengatasi masalah ini. Kemudian, MoU ini berisikan peningkatan kualitas koordinasi dalam rangka penyidikan tindak pidana. Sedangkan kerja sama yang dilakukan dalam rangka menyelesaikan laporan pengaduan dari masyarakat yang dialami korban tindakan kesewenang-wenangan yang telah dilakukan aparat pemerintah, penyelenggara negara, BUMN, BUMD, dan siapapun yang menyelenggarakan misi pelayanan publik di seluruh sektor lingkungan Polri atas bantuan Kapolri. Selama ini Ombudsman mengalami kesulitan dalam hal memanggil pihak terlapor karena tidak adanya upaya paksa. Sesuai kewenangannya dalam UU 37 tahun 2008 Komisi Ombudsman wajib menindaklanjuti pejabat instansi terlapor. Apabila pejabat instansi terlapor yang dipanggil Ombudsman tidak mengindahkan panggilan itu tiga kali berturut-turut maka Ombudsman bersama Polri akan memanggil paksa.
2.      Kerjasama ORI dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
ORI melakukan pembahasan rencana kerjasama tahap awal dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada hari Senin, 11 Juli 2011. Bertempat di Ruang Abdurrahman Wahid Lt.7 Kantor Ombudsman, pembahasan yang langsung dipimpin oleh Ketua Ombudsman Danang Girindrawardana dan Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai membahas beberapa poin kerjasama yang sedianya akan dilakukan bersama-sama ORI dan LPSK. Kerjasama antara ORI dan LPSK tidak terbatas pada Inpres No.09/2011 melainkan juga meliputi aspek-aspek lain seperti mekanisme yang akan dijalankan terkait kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat antar lembaga penegak hukum. Mekanisme tersebut merupakan sarana implementasi dari kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat LPSK dengan lembaga-lembaga lain. Semendawai mencontohkan LPSK telah membuat kesepakatan dengan Mahkamah Agung (MA) yang menghasilkan komitmen Pimpinan MA H.Arifin Tumpa untuk membuat Surat Edaran kepada pengadilan-pengadilan seluruh Indonesia untuk memberikan penanganan berbeda terhadap para kolaborasi keadilan (Justice Collaborator).
Abdul Haris Semendawai mengajak ORI untuk melakukan kemitraan dalam bentuk kerjasama kantor (Join Office) dengan kantor-kantor perwakilan ORI di daerah, perlindungan bagi pelapor-pelapor Ombudsman. Menurut Danang Girindrawardana hubungan LPSK dan Ombudsman dapat lebih dalam lagi yakni menciptakan sistem informasi dan konsolidasi lembaga-lembaga dengan tetap berada pada koridor Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Wakil Ketua Ombudsman Azlaini Agus menambahkan bahwa Ombudsman telah melakukan perlindungan melalui mekanisme kerahasiaan pelapor, namun tampaknya pada beberapa kasus tertentu perlindungan kerahasiaan tersebut dirasakan belum cukup[20].Hasil dari pembahasan tahap awal ini adalah pembentukan tim serta penyusunan substansi-substansi kerjasama ORI dan LPSK, kerjasama dengan media massa sebagai penggalang dukungan masyarakat, sosialisasi internal. Kegiatan tindak lanjut ini akan dirancang sesegera mungkin dengan terfokus pada penandatanganan MoU, konsolidasi antar lembaga KPK, LPSK, ORI dan lembaga-lembaga lain yang terkait dan pembangunan system informasi dan kerjasama antar lembaga.
3.      MoU Ombudsman dan BPN mengenai Administrasi Pertanahan
Rencana Lembaga Ombudsman dan Badan Pertanahan Nasional pada bulan Agustus ini akan segera menandatangani nota kesepahaman tentang administrasi pertanahan. Ketua Ombudsman Danang Girindrawardana mengatakan nota kesepahaman tersebut untuk memperlancar pengawasan aduan masyarakat atas layanan publik BPN. Selama ini, masyarakat banyak mengadukan lambannya eksekusi keputusan peradilan soal tanah dan pelayanan administrasi BPN. Sebelumnya Lembaga Ombudsman menyebutkan bahwa BPN sebagai lembaga yang paling buruk dalam melayani publik. Ombudsman bahkan menilai, BPN tidak tanggap dalam menangani keluhan-keluhan yang disampaikan masyarakat. Atas keluhan-keluhan tersebut, lembaga Ombudsman memanggil Kepala BPN untuk membahasnya.[21]

2.4  Kasus yang Ditangani oleh Komisi Ombudsman Nasional[22]

1.                  Conflict of Interest pada Hakim Agung
Pelapor bernama S.Padma melalui kuasanya dari Kantor Pengacara xx, melaporkan permasalahannya yang pada intinya sebagai berikut :
a.                   Telah terjadi eksekusi perkara perdata Nomor : 186/1982.G Pengadilan Negeri Jakarta Barat sesuai dengan Berita Acara Eksekusi Nomor : 186/1982.G tanggal 13 Februari 1983
b.                  Terhadap eksekusi tersebut PT Green Ville Real Estate mengajukan perlawanan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat tercatat dalam register perkara Nomor : 106/1983.G jo Nomor: 584/PDT/1982/PT DKI jo. Nomor : 1323 K/PDT/19888 jo. Nomor : 344 PK/PDT/1998 dimana permohonan Peninjauan Kembali Pelapor kepada Mahkamah Agung RI ditolak.
c.                   Ketua Majelis Hakim dalam pemeriksaan Peninjauan Kembali adalah Hakim Agung yang pada tahun 1985 dalam kapasitas sebagai Ketua Tim Gabungan Opstibpus telah terlibat dalam perkara dimaksud. Pada waktu itu Tim Gabungan Opstibpus dengan surat Nomor : K-92/Opstibpus/XII/1984 telah menemukan adanya penyimpangan-penyimpangan. Komisi Ombudsman Nasional telah mengirim surat kepada Mahkamah Agung RI berkenaan dengan dugaan adanya konflik kepentingan dalam pemeriksaan perkara yang dilaporkan, namun tidak ada tanggapan ataupun pemeriksan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung RI.
2.                   Penyalahgunaan Kekuasaan oleh Jaksa Agung
Komisi Ombudsman Nasional telah menerima laporan dari Keluarga SB yang melaporkan Jaksa Agung RI yang diduga menyalahgunakan kekuasaannya dengan melakukan persuasi, pemaksaan dan intimidasi agar Gubernur BI mengundurkan diri. Selain itu penahanan SB melanggar prosedur yakni tidak memberitahukan kepada keluarganya. Komisi memberikan Rekomendasi kepada Jaksa Agung RI guna memberikan klarifikasi seputar masalah tersebut , Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus memberikan klarifikasi melalui surat Nomor : B-782/F/08/2000 tertanggal 11 Agustus 2000 yang intinya menolak dugaan tersebut. Komisi menyarankan kepada Pelapor untuk melakukan tindakan hukum demi menguji kebenaran dugaan tersebut.
3.                   Penyegelan Hotel oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta
Komisi Ombudsman Nasional menerima laporan pengaduan dari RS. Pelapor menyampaikan bahwa Hotel yang dimilikinya dikuasai tanpa bukti jelas oleh PT. Ayu Kumala Lestari. Pihak Pemda DKI mengetahui hal tersebut namun tidak berusaha berbuat sesuatu untuk menyelesaikan masalah tersebut. Pada tanggal 14 September 1955, Mahkamah Agung RI mengeluarkan surat putusan Nomor : 86 K/TUN/1994 yang memenangkan Pelapor dan meminta pihak Pemda DKI untuk melaksanakan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap, yaitu memerintahkan pihak PT. Ayu Kumala Lestari menghentikan kegiatan operasionalnya. Namun pihak Pemda DKI tidak melaksanakannya secara konsisten. Komisi mengirimkan surat Rekomendasi Nomor : 0262/KON-Lapor/VII/2000 tanggal 11 Juli 2000, kepada Gubernur DKI Jakarta, untuk mengadakan klarifikasi atas laporan tersebut, Pihak Pemda DKI memberikan tanggapannya dengan surat Nomor : 224/078.1, tanggal 31 Juli 2000, yang menyatakan bahwa pihaknya telah mengosongkan Hotel Chitra tersebut. Namun tidak mengeluarkan izin pendirian hotel yang baru.
4.                   Komersialisasi perkara oleh oknum-oknum Kejaksaan
Sebuah Organisasi Non Pemerintah yang bernama GEBUK di Jawa Tengah menemukan adanya sinyalemen praktek-praktek komersialisasi perkara. Dari investigasi yang dilakukan, GEBUK sampai pada suatu kesimpulan, diduga kuat telah terjadi praktek-praktek komersialisasi perkara yang dilakukan oleh oknum-oknum pejabat Kejaksaan. Praktek komersialisasi tersebut dilakukan dengan cara bujuk rayu bahkan dengan cara berupa ancaman-ancaman tertentu. Biasanya oknum Kejaksaan menawarkan jasa untuk mengurus kasus Terdakwa agar hukumannya ringan. Tawaran tersebut disertai dengan ancaman apabila tidak diurus maka oknum Kejaksaan tersebut tidak bertanggung jawab bila terjadi apa-apa.
Temuan tersebut kemudian oleh GEBUK dilaporkan kepada Komisi Ombudsman Nasional. Menindaklanjuti temuan tersebut, pada tanggal 30 April 2001, Komisi Ombudsman Nasional mengirim surat kepada Jaksa Agung RI Nomor : 1197/KON-Lapor.1658/ IV/2001-DM berisi Rekomendasi agar Jaksa Agung melakukan penelitian dan mengambil tindakan sesuai ketentuan yang berlaku. Empat bulan kemudian, Jaksa Agung Muda Pengawasan memberikan penjelasan melalui surat nomor : R-1011/H/H.3/08/ 2001 tertanggal 29 Agustus 2001, bahwa setelah dilakukan pemeriksaan, terbukti Jaksa telah melakukan penyimpangan dalam menangani perkara dimaksud dan untuk itu jajaran Kejaksaan Negeri terkait, terdiri dari Kepala Kejaksaan Negeri, Pejabat Kasi Pidum, Pejabat Kasi Intelijen dan seorang Jaksa fungsional pada Kejaksaan Negeri tersebut telah dijatuhi hukuman disiplin tingkat berat dan sedang. Untuk hal tersebut, pada tanggal 27 September 2001 Komisi Ombudsman Nasional segera menyampaikan hasil tindaklanjut yang sudah dilakukan Kejaksaan terhadap rekomendasi Komisi Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang ombudsman Nasional dimaksud kepada Koordinator Bersama GEBUK melalui surat nomor 0320/Kon-Srt.1658/IX/2001-DM.
5.                   Penculikan yang tak kunjung terungkap
Seorang pengusaha penambangan pasir di Sukabumi, Jawa Barat bernama JK Direktur PT. Cimangkok Pasirmas Mandiri menjadi korban penculikan dan penganiayaan mengarah pada percobaan pembunuhan. Diduga tindakan tersebut dilakukan sekelompok orang suruhan lawan bisnisnya yang melibatkan oknum pejabat tertentu. Ada indikasi Kepolisian melakukan penundaan berlarut pengusutannya sehingga setidaknya sudah setahun lebih perkara belum dapat dilimpahkan ke Kejaksaan apalagi diperiksa di Pengadilan. Indikasi penundaan dimaksud antara lain sebagai berikut ;
6.                  Pada dasarnya sudah dapat teridentifikasi sebuah barang bukti berupa Mobil Panther berwarna hijau Nomor Polisi B 7326 P sebagaimana diduga telah digunakan dalam aksi penculikan dan penganiayaan terhadap Pelapor.
7.                  Kepolisian tidak menunjukkan profesionalitas mengungkap perihal mobil Panther dimaksud. Oleh karena itu, Pelapor mengambil inisiatif melakukan pelacakan sendiri dan diperoleh data dari Polda Metro Jaya bahwa mobil Panther warna hijau Nopol B 7326 P adalah milik PT. FS diduga selama ini Direkturnya menjadi dalang dari kasus penculikan dan penganiayaan terhadap Pelapor.
8.                  Kesaksian yang diberikan antara lain oleh seorang Saksi Kunci yang telah diajukan ke Mabes Polri ternyata belum ditindaklanjuti sebagaimana mestinya.
Diduga Kepolisian setempat sengaja menutupi aktor intelektual yang mendalangi penculikan dan penganiayaan tersebut, sehingga proses tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Menindaklanjuti temuan Pelapor tersebut, pada tangggal 12 Juni 2001 Komisi mengirimkan surat yang ke empat, Nomor : 1406/ KON-Lapor.0806/VI/2001-bm. Pada tanggal 15 Oktober 2001, Pelapor memberikan informasi bahwa Mabes Polri telah mengambil alih penanganan kasus penculikan dan penganiayaan tersebut. Selain itu, pada jajaran Kepolisian di Propinsi Jawa Barat juga terjadi mutasi jabatan terhadap Kapolda Jawa Barat, Kapolres Sukabumi dan Kasat Serse Polres Sukabumi. Setelah terjadi pergantian para pejabat Kepolisian tersebut secara perlahanlahan peristiwa penculikan yang telah (hampir) dipetieskan lebih dari 1 (satu) tahun akhirnya dibuka dan digelar kembali. Komisi memberikan kesempatan kepada Kepolisian bahwa mereka masih mampu berperan sebagai benteng keadilan masyarakat.
9.                  Walikota yang tidak melaksanakan putusan pengadilan
Pendapat bahwa semua orang sama didepan hukum masih sebatas retorika saja, hal ini terbukti dari contoh laporan ini, namun kesadaran muncul manakala masyarakat secara terus menerus tanpa putus asa memperjuangkan haknya, apa yang menjadi haknya akan diperoleh. Seorang Pelapor yang beralamat di Bintaro Jaya, Jakarta Selatan, sebagai ahliwaris dari H. Katili Bin Lasimpala bernama Diana Katili merasa dirugikan atas tindakan Pemerintah Daerah Kota madya Jakarta Selatan dalam pelaksanaan Proyek Outer Ring Road berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta No.1708 tertanggal 27 Agustus 1988. Seyogyanya, tanah Diana Katili seluas lebih kurang 1000 M2 yang terkena proyek tersebut mendapat ganti rugi senilai Rp. 25.653.600, - (dua puluh lima juta enam ratus lima puluh tiga ribu enam ratus rupiah).
Tetapi sampai saat menyampaikan laporannya kepada Komisi Ombudsman Nasional, ganti rugi tersebut belum direalisasikan. Diana Katili pernah dua kali menanyakan perihal ganti rugi yang belum terealisasi tersebut kepada Walikota Jakarta Selatan. Pertanyaan tersebut tidak mendapat jawaban yang memuaskan. Melalui suratnya tertanggal 7 April 1989 Nomor : 44/1.711.9 tanggal 7 April 1989, Walikota Jakarta Selatan mengatakan bahwa permohonan ganti rugi sudah tidak relevan karena permasalahannya telah diselesaikan melalui Pengadilan dan putusannyapun telah berkekuatan hukum tetap.
Komisi Ombudsman Nasional menindaklanjuti keluhan tersebut, pada tanggal 7 Maret 2001 Komisi mengirimkan surat nomor : 1004/KON-Lapor.1455/III/2001-ER kepada Walikota Jakarta Selatan berisi permintaan klarifikasi sekaligus memberikan rekomendasi untuk secara sungguh-sungguh mengambil langkah penyelesaian guna mengembalikan hak-hak Diana Katili. Pada tanggal 16 Juli 2001, Diana Katili menulis surat kepada Komisi Ombudsman Nasional, mengucapkan terimakasih, karena dengan Rekomendasi Komisi, akhirnya ganti ruginya terealisir.
10.               Dugaan adanya putusan ganda atas perkara Kasasi di Mahkamah Agung RI Pada awal Juni 2001, Komisi Ombudsman Nasional menerima surat dari Mahkamah Agung RI Nomor: MA/PAN/133/V/2000 tertanggal 22 Mei 2001. Surat tersebut sebagai tindaklanjut dari Rekomendasi Nomor: 0370.KON-Lapor/VIII/2000-wn tentang dugaan adanya putusan ganda atas perkara Kasasi Mahkamah Agung RI nomor: 1275 K/PID/1998. Rekomendasi tersebut disusun berdasarkan keluhan seorang pelapor yang mengaku mendapat keterangan dari Panitera Pengganti dalam perkara Kasasi Nomor: 1275 K/Pid/1998 bahwa terhadap perkara dimaksud telah terjadi perubahan putusan. Semula Majelis Hakim Agung menolak permohonan kasasi dan putusannya telah disiapkan oleh Panitera Pengganti. Beberapa waktu kemudian ada putusan baru yang amarnya menerima permohonan kasasi.
Menindaklanjuti rekomendasi Komisi Ombudsman Nasional, Mahkamah Agung RI telah memberikan penjelasan bahwa benar adanya putusan Kasasi Register Nomor : 1257 K/Pid/1998 yang dilaksanakan ucapannya pada tanggal 7 Desember 1998. Adapun putusan yang diterima oleh Pelapor dari salah seorang Pegawai Mahkamah Agung RI bukanlah produk resmi Mahkamah Agung RI yang diucapkan pada tanggal 7 Desember 1988, melainkan baru merupakan konsep hasil musyawarah pada tanggal 9 Nopember 1998. Oleh karena itu Mahkamah Agung RI menyatakan tidak ada putusan ganda. Atas berbagai hal tersebut, Mahkamah Agung RI melakukan pemeriksaan terhadap jajaran pegawai struktural. Hasilnya adalah bahwa seorang pegawai diberi sanksi dalam bentuk teguran tertulis karena tidak memonitor putusan yang telah dibuat dan lamban mengirimkan putusan disebabkan terdapat kekeliruan penulisan nama tetapi tidak segera dilaporkan kepada pimpinan.


BAB III
PENUTUP
3.1              Kesimpulan
            Berdasarkan penjelasan yang dipaparkan di dalam isi dan pembahasan, maka adapun kesimpulan dari penulisan makalah ini adalah:
1.                  Dalam menjalankan fungsi dan tugas, menurut ketentuan Pasal 8 UU No. 37 Tahun 2008 tentang ORI, wewenang Ombudsman diatur di dalam ayat (1) sedangkan dalam menjalankan fungsi dan tugas ombudsman diatur di dalam Pasal 6 dan Pasal 7.
2.                  Ombudsman merupakan salah satu kelembagaan antikorupsi yang direkomendasikan ketetapan (TAP) MPR Nomor VIII tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Lembaga antikorupsi lain, yang juga direkomendasikan dibentuk perundangundangannya meliputi Komisi Antikorupsi, Pencucian Uang, Perlindungan Saksi, Kebebasan Memperoleh Informasi dan sebagainya.
3.                  Keberadaan Ombudsman Republik Indonesia dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menurut konsep pembagian kekuasaan pada prinsipnya berperan sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi pengawasan terhadap pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara. Ombudsman Republik Indonesia ditinjau menurut fungsi kelembagaan merupakan lembaga penunjang dalam ranah kekuasaan legislatif dan yudikatif.
4.                  Ombudsman di Indonesia telah menangani beberapa kasus diantaranya yaitu: 1) Penyegelan Hotel oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta; 2) Penyalahgunaan Kekuasaan oleh Jaksa Agung; 3) Conflict of Interest pada Hakim Agung; dan lain-lain.

3.2              Saran
            Di dalam penulisan makalah ini, adapun saran yang dapat diberikan antara lain:
1.                  Para penulis mengharapkan Ombudsman di Indonesia ini dapat menjalankan wewenang dan tugasnya dengan semaksimal mungkin.
2.                  Di dalam penulisan makalah ini, para penulis mengharapkan Ombudsman dapat bekerja sama dengan baik bersama lembaga-lembaga anti korupsi di Indonesia dalam memberantas KKN.
3.                  Di dalam penulisan makalah ini, para penulis mengharapkan Ombudsman dapat menjalankan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya di dalam ketatanegaraan Indonesia.
4.                  Para penulis mengharapkan kasus-kasus tindak pidana yang ada di Indonesia dapat ditangani dengan baik dan tidak ada lagi kasus-kasus yang muncul nantinya.


DAFTAR PUSTAKA

Antonius Sujata, “Ombudsman dan Gerakan Antikorupsi”, www.ombudsman.go.id
Antonius Sujata,dkk. 2002. “Ombudsman Indonesia Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang”. Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional.
C.F.G. Sunaryati Hartono. 2005. “Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi Secara Sistemik, dalam Peranan Ombudsman Dalam Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi serta Pelaksanaan Pemerintahan Yang Baik, Komisi Ombudsman Nasional”. Jakarta.
http://www.legalitas.ombudsman co.id
Ibnu Tricahyo, “Posisi Ombudsman Dalam Ketatanegaraan Republik Indonesia”, makalah disampaikan pada Diskusi Panel Ombudsman RI dan KPP tanggal 12 Pebruari 2009.
J.M. Papasi. Ilmu Politik: Teori dan Praktik. (Yogyakarta: Graha Ilmu. 2010),
Jurnal Fakultas Hukum. Muhammad Ali Gandhi. Tinjauan Hukum Kewenangan Ombudsman Dalam Mengawasi Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Kota Makassar, 2012
Jurnal Fakultas Hukum. Muhammad Ali Gandhi. Tinjauan Hukum Kewenangan Ombudsman Dalam Mengawasi Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Kota Makassar, 2012
Marnis. Pengantar Manajemen. (Pekanbaru: PT. Panca Abdi Nurgama, 2009)

Mei, 2010. Ombudsman dan Pengawasan Terhadap Aparatur Negara Pasca Reformasi. Http://ocemadril.wordpress.com

Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2000.
Saiful Anwar, “Sendi-sendi Hukum Tata Negara Indonesia (Era Reformasi)”, Medan: Gelora Madani Press, 2004, hal. 101.
Timur Pardopo, pada Penandatanganan MoU Polri dan Komisi Ombudsman di Mabes Polri, Jl. Trunojoyo, Jaksel, Kamis 26 Mei 2011
Tjipta Lesmana. 2004. “Ombudsman Indonesia Mau Dimatikan”. Jakarta:Sinar Harapan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia
UU No. 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.


[1] Mei, 2010. Ombudsman dan Pengawasan Terhadap Aparatur Negara Pasca Reformasi. Http://ocemadril.wordpress.com

[2] Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2000. hal. 36
[3] Jurnal Fakultas Hukum. Muhammad Ali Gandhi. Tinjauan Hukum Kewenangan Ombudsman Dalam Mengawasi Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Kota Makassar, 2012
[4] http://www.legalitas.ombudsman co.id
[5] Jurnal Fakultas Hukum. Muhammad Ali Gandhi. Tinjauan Hukum Kewenangan Ombudsman Dalam Mengawasi Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Kota Makassar, 2012
[6] J.M. Papasi. Ilmu Politik: Teori dan Praktik. (Yogyakarta: Graha Ilmu. 2010), hlm 24
[7] Ibid
[8] Marnis. Pengantar Manajemen. (Pekanbaru: PT. Panca Abdi Nurgama, 2009) hlm. 344
[9] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia
[10] Tjipta Lesmana. 2004. “Ombudsman Indonesia Mau Dimatikan”. Jakarta:Sinar Harapan.
[11] Pasal 7 UU No. 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.
[12] C.F.G. Sunaryati Hartono. 2005. “Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi Secara Sistemik, dalam Peranan Ombudsman Dalam Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi serta Pelaksanaan Pemerintahan Yang Baik, Komisi Ombudsman Nasional”. Jakarta. Hal. 134.
[13] Antonius Sujata, “Ombudsman dan Gerakan Antikorupsi”, www.ombudsman.go.id, diakses tanggal 24 Februari 2010.
[14] Ibid.
[15] Saiful Anwar, “Sendi-sendi Hukum Tata Negara Indonesia (Era Reformasi)”, Medan: Gelora Madani Press, 2004, hal. 101.
[16] Ibnu Tricahyo, “Posisi Ombudsman Dalam Ketatanegaraan Republik Indonesia”, makalah disampaikan pada Diskusi Panel Ombudsman RI dan KPP tanggal 12 Pebruari 2009.
[17] Herlambang Perdana Wiratraman, sinkronisasi hubungan antar lembaga negara dalam sistem presidensial. politik hukum amandemen kelima uud 1945, Makalah disampaikan pada Pertemuan Ahli Hukum Tata Negara dengan tema: “Memperkuat Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Melalui Perubahan Kelima UUD Negara Republik Indonesia 1945”, diselenggarakan oleh Pusat Studi Konstitusi (PusKon) Universitas 45 Makassar dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Makassar 29 Juni-1 Juli 2007.
[18]   Herry Wibawa, Op. Cit. hal. 164
[19] Timur Pardopo, pada Penandatanganan MoU Polri dan Komisi Ombudsman di Mabes Polri, Jl. Trunojoyo, Jaksel, Kamis 26 Mei 2011
[20] Pembahasan tahap awal ini adalah pembentukan tim serta penyusunan substansi-substansi kerjasama ORI dan LPSK, dan kerjasama dengan media massa.
[21] Pembahasan tahap awal penyusunan substansi-substansi kerjasama ORI dan BPN
[22] Antonius Sujata,dkk. 2002. “Ombudsman Indonesia Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang”. Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional. Hal: 57

0 comments:

Posting Komentar